Liputan6.com, Jakarta - Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana memanggil Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) terkait banyaknya komitmen investasi yang belum direalisasikan oleh investor. Komisi VI melihat, realisasi investasi cukup penting, mengingat Indonesia membutuhkan investasi besar untuk mendorong perekonomian.
“Katanya komitmen investasi besar, tapi realisasinya minim. Kami perlu duduk dengan mitra kami dari BKPM untuk mengevaluasi sebenarnya ada apa sih. Banyak berita gembira komitmen investasi begitu, tapi realisasinya belum ada,” kata anggota Komisi VI DPR RI, Amin AK dikutip Sabtu (19/12/2020).
Baca Juga
Seperti diketahui, di tengah kondisi pandemi Covid-19, kabar mengenai komitmen investasi dari investor asing terus mengalir ke Indonesia. Seperti pada pekan lalu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto yang membawa kabar gembira bahwa Amerika Serikat (AS) dan Jepang berkomitmen membenamkan investasi di Indonesia dengan total nilai USD6 miliar atau sebesar Rp84,5 triliun.
Advertisement
Sebelumnya juga ada Contemporary Amperex Technology Co. Ltd yang telah menandatangani komitmen investasi senilai USD4,6 miliar atau setara Rp67,8 tiliun untuk pengembangan baterai listrik di Indonesia. Begitu pun dengan Abu Dhabi yang menyatakan komitmen investasi hingga USD22,8 miliar atau Rp319,8 triliun di awal 2020 lalu.
“Abu Dhabi katanya deal terbesar, tapi tidak ada realisasi. Mungkin setelah mereka tahu hi-cost besar, kemudian imbal baliknya buat mereka apa. Artinya ada informasi yang dia tangkap di awal gitu, setelah mereka kunjungi dan dalami itu berbeda jauh. Ya sampai saat ini memang belum ada pernyataan batal, tapi realisasi juga belum ada,” kata Amin.
Pada Oktober 2020 lalu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita bahkan menyebutkan, untuk sektor manufaktur saja, komitmen investasi hingga 2023 sudah mencapai Rp1.084 triliun. Daftar rencana investasi bahkan sudah tercatat di BKPM.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Rencana Investasi
Terpisah, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, rencana investasi asing ke Indonesia yang cukup tinggi tidak diimbangi dengan realisasi komitmen investasi.
Ia memaparkan, investor kerap menemui berbagai hambatan untuk merealisasikan rencananya. Selain soal perizinan, lahan dan tenaga kerja, hambatan investasi juga dipicu kurang ketatnya koordinasi antara kementerian dan lembaga sertai permasalahan hubungan pemerintah pusat dan daerah.
Menurutnya, hal lain yang menjadi pertimbangan investor dalam merealisasikan investasi adalah insentif pajak. Maklum, di tengah kompetisi antar negara dalam memperebutkan investasi, insentif pajak akan menjadi pemanis untuk menambah daya tarik suatu negara. Apalagi, negara-negara jiran tergolong royal dalam menggelontorkan insentif fiskal demi menarik investasi.
Itu sebabnya, Yusuf bilang, perlu juga mempertimbangkan pemberian insentif berdasarkan kebutuhan industri yang akan dibidik oleh investor. Tentu, ini membutuhkan usaha yang lebih besar untuk menghitung kebutuhan insentif tiap sektor dan berapa lama imbal hasil masing-masing sektor.
Pemberian insentif dalam rangka menarik investasi tidak bisa dipukul rata. Karena jika ditilik lebih dalam, investor yang berkomitmen untuk berinvestasi datang dari berbagai jenis industri mulai industri manufaktur, barang konsumen hingga produk inovasi seperti mobil listrik. Hal ini menunjukkan bahwa investor membutuhkan jenis insentif yang berbeda.
"Ini mungkin saja dilakukan dalam rangka menarik investasi untuk mendorong masing-masing industri," pungkas Yusuf.*
Advertisement