Liputan6.com, Jakarta - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan, pemerintah bersama pihak otoritas keuangan telah sepakat untuk melanjutkan kebijakan fiskal bagi sektor keuangan hingga 2021.
Tak hanya memperpanjang, pemerintah dan OJK juga tengah menggali kemungkinan stimulus baru untuk diterapkan pada sektor keuangan di tahun depan.
Baca Juga
"Bahkan kita masih akan mencari lagi kebijakan apa lagi yang harus dilakukan untuk mempercepat proses recover ini," kata Wimboh dalam acara Outlook Perekonomian: Meraih Peluang Pemulihan Ekonomi di 2021, Selasa (22/12/2020).
Advertisement
Wimboh pun mengklaim, sejumlah dukungan fiskal seperti subsidi bunga dan penjaminan kredit telah berhasil diterapkan dengan baik. Dia membeberkan beberapa kebijakan sehingga sektor keuangan tetap bertahan di tengah pandemi.
"Yang pertama kami lakukan, kita jaga agar tidak terjadi default. Bukan saja sektor keuangannya, tapi nasabah. Kalau bisnis biasa pasti default. Kita sanggah agar tak jadi default," jelas Wimboh.
Agar suatu lembaga keuangan tidak gagal penuhi kewajiban hukum dari pinjaman (default), OJK lantas meluncurkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 11 terkait relaksasi restrukturisasi kredit pada Maret 2020.
"PINK 11 kita keluarkan pada bulan Maret agar menahan nasabah jangan dikategorikan menjadi non-lancar dulu. Karena sebagian besar pasti menunda 3 bulan. Ini kita tahan untuk tidak dikategorikan non-lancar sehingga juga lembaganya, bank maupun lembaga keuangannya tidak terkendala," tuturnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
OJK Terbitkan Aturan Perpanjangan Kebijakan Stimulus Covid-19 untuk Bank
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 48/POJK.03/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019.
Melalui keterangan resmi yang disampaikan OJK, Jumat (11/12/2020), POJK perpanjangan kebijakan stimulus di sektor perbankan ini dikeluarkan setelah mencermati perkembangan dampak ekonomi berkaitan penyebaran Covid-19 yang masih berlanjut secara global maupun domestik, dan diperkirakan akan berdampak terhadap kinerja dan kapasitas debitur serta meningkatkan risiko kredit perbankan.
POJK ini juga ditujukan sebagai langkah antisipatif dan lanjutan untuk mendorong optimalisasi kinerja perbankan, menjaga stabilitas sistem keuangan, dan mendukung pertumbuhan ekonomi dengan tetap menerapkan prinsip kehati-hatian dan menghindari terjadinya moral hazard.
Sebelumnya, OJK pada Maret 2020 telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (POJK Stimulus Covid-19), yang berlaku sampai dengan 31 Maret 2021. Kebijakan itu dikeluarkan sebagai quick response dan forward looking policy atas dampak penyebaran COVID-19.
Dengan terbitnya POJK 48/POJK.03/2020 ini, maka kebijakan stimulus ini akan berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2022.
Hingga 9 November 2020, realisasi restrukturisasi kredit sudah mencapai Rp 936 triliun yang diberikan kepada 7,5 juta debitur. Jumlah itu terdiri dari debitur UMKM sebanyak 5,8 juta debitur dengan nilai restrukturisasi sebesar Rp 371,1 triliun dan 1,7 juta debitur non-UMKM senilai Rp 564,9 triliun.
Pokok-pokok pengaturan dalam POJK stimulus Covid-19 berupa kebijakan relaksasi bagi debitur yang terkena dampak virus corona masih tetap berlaku, antara lain mencakup:
- Penilaian kualitas kredit/pembiayaan hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga untuk kredit/pembiayaan hingga Rp10 miliar
-Penetapan kualitas kredit/pembiayaan menjadi Lancar setelah direstrukturisasi
- Pemisahan penetapan kualitas untuk kredit/pembiayaan baru.
Adapun dalam POJK perrubahan atas POJKÂ Stimulus Covid-19Â ini terdapat penyesuaian pengaturan untuk memastikan penerapan manajemen risiko dan prinsip kehati-hatian bagi bank dalam menerapkan kebijakan tersebut, serta kebijakan terkait dengan permodalan dan likuditas bank.
Advertisement
Rincian Peraturan
Penyesuaian pengaturan antara lain juga meliputi:
a. Bank wajib menerapkan manajemen risiko antara lain memiliki pedoman untuk menetapkan debitur yang terkena dampak; melakukan penilaian terhadap debitur yang mampu terus bertahan dari dampak Covid-19 dan masih memiliki prospek usaha; membentuk cadangan untuk debitur yang dinilai tidak lagi mampu bertahan setelah dilakukan restrukturisasi kredit/pembiayaan; mempertimbangkan ketahanan modal dengan memperhitungkan tambahan pembentukan cadangan untuk mengantisipasi potensi penurunan kualitas kredit/pembiayaan restrukturisasi dalam hal bank akan melakukan pembagian dividen dan/atau tantiem; dan melakukan uji ketahanan secara berkala terhadap potensi penurunan kualitas kredit atau pembiayaan yang direstrukturisasi dan pengaruhnya terhadap likuiditas dan permodalan bank.
b. Ketentuan restrukturisasi; kredit/pembiayaan yang direstrukturisasi dikecualikan dari perhitungan aset berkualitas rendah (KKR) dalam penilaian tingkat kesehatan bank bagi BUK/BUS/UUS; nank dapat menyesuaikan mekanisme persetujuan restrukturisasi kredit/pembiayaan sepanjang tetap memenuhi prinsip kehati-hatian dan nank harus melakukan penilaian terhadap kemampuan debitur yang terkena dampak penyebaran Covid-19 untuk dapat bertahan sampai dengan berakhirnya POJK ini. Penilaian dimaksud akan berdampak terhadap penilaian kualitas kredit/pembiayaan yang direstrukturisasi dimaksud.
c. Bank dapat menerapkan kebijakan likuiditas dan permodalan sebagai dampak penyebaran Covid-19 yang terdiri atas: BUK yang termasuk dalam kelompok BUKU 3, BUKU 4, dan bank asing dapat menyesuaikan batas bawah pemenuhan liquidity coverage ratio dan net stable funding ratio dari 100 persen menjadi 85 persen sampai dengan 31 Maret 2022. Kemudian BUK atau BUS dapat menyediakan dana pendidikan kurang dari 5 persen dari anggaran pengeluaran sumber daya manusia untuk tahun 2020 dan 2021. BUK, BUS, atau UUS dapat menetapkan kualitas agunan yang diambil alih yang diperoleh sampai dengan 31 Maret 2020 berdasarkan kualitas agunan yang diambil alih posisi akhir Maret 2020.
Selain itu, BUK atau BUS yang termasuk dalam kelompok BUKU 3 dan BUKU 4 dapat tidak memenuhi capital conservation buffer sebesar 2,5 persen dari aset tertimbang menurut risiko. Penerapan kebijakan dimaksud harus berdasarkan persetujuan OJK.