Sukses

Indonesia Bergantung Kedelai Impor, Pedagang Minta Pemerintah Keluar dari Zona Nyaman

Kementerian Perdagangan mencatat pada Desember 2020 harga kedelai dunia sebesar USD 12,95 per bushels, naik 9 persen dari bulan sebelumnya.

Liputan6.com, Jakarta - Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) meminta pemerintah untuk tidak bergantung pada barang impor termasuk kedelai. Seharusnya pemerintah mampu mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA) sehingga Indonesia mampu memproduksi kedelai yang bisa digunakan untuk menghasilkan tempe dan tahu.

“Sebenarnya ini momentum untuk pemerintah keluar dari ketergantungan impor kedelai, karena bagaimanapun juga konsumsi kedelai kita cukup tinggi. Konsumsi kedelai untuk tahu dan tempe tinggi maka mau tidak mau harus mencari cara keluar dari zona nyaman impor,” kata Ketua Umum Ikappi Abdullah Mansuri, kepada Liputan6.com, Senin (4/1/2021).

Langkah ini bisa dilakukan dengan melibatkan semua unsur, misalnya memberdayakan mahasiswa fakultas pertanian di perguruan tinggi. Mengajak mereka berdiskusi untuk mempelajari struktur tanah agar kedelai bisa ditanam di Indonesia.

“Berikan kewenangan dan kepercayaan kepada anak-anak negeri untuk menggali dan mencari tahu cara apa yang efektif untuk dilakukan di Indonesia sehingga 5 tahun ke depan kita bisa menikmati hasilnya tidak bergantung pada impor,” jelasnya.

Adapun Kementerian Perdagangan mencatat pada Desember 2020 harga kedelai dunia sebesar USD 12,95 per bushels, naik 9 persen dari bulan sebelumnya yang tercatat USD 11,92 per bushels.

Hal itu berdasarkan data The Food and Agriculture Organization (FAO), harga rata-rata kedelai pada Desember 2020 tercatat sebesar USD 461 ton, naik 6 persen dibanding bulan sebelumnya yang tercatat USD 435 ton.

Faktor utama penyebab kenaikan harga kedelai dunia diakibatkan lonjakan permintaan kedelai dari Tiongkok kepada Amerika Serikat selaku eksportir kedelai terbesar dunia. Pada Desember 2020 permintaan kedelai Tiongkok naik 2 kali lipat, yaitu dari 15 juta ton menjadi 30 juta ton.

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tempe dan Tahu Langka, Ternyata Ini Penyebabnya

Sebelumnya, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Didi Sumedi menjelaskan masalah utama sulitnya menemukan tempe dan tahu di pasaran karena para pengrajin tahu dan tempe galau naikkan harga.

“Sebetulnya bukan langka stok kedelainya, sebenarnya stok di Gakoptindo pun ada. Kondisi yang sebenarnya adalah kenaikan harga, sehingga para pengrajin tempe tahu ini jadi ragu harus menaikkan harga, karena ada kenaikan harga kedelai,” kata Didi kepada Liputan6.com, Senin (4/1/2021).

Didi mengatakan saat ini pasokan kedelai masih cukup, para importir selalu menyediakan stok kedelai di gudang importir sekitar 450 ribu ton.

Misalnya jika kebutuhan kedelai untuk para anggota Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) sebesar 150 ribu sampai 160 ribu ton per bulan, maka stok tersebut seharusnya masih cukup untuk memenuhi kebutuhan 3 bulan mendatang.

“Kalau pasokan kedelai masih ada cukup, yang terjadi adalah kenaikkan harga, yang biasanya Rp 7.000 sekarang sampai Rp 9.000 hingga Rp 9.300 yang menjadikan pengrajin tahu tempe galau, karena harus menjual tempe tahunya lebih tinggi,” jelasnya.

Memang hal tersebut disebabkan karena adanya kenaikan harga kedelai internasional, yang biasanya harga kedelai sebesar USD 11,92 per bushels, pada Desember 2020 mengalami kenaikkan hingga 9 persen atau sebesar USD 12,95 per bushels.

Berdasarkan data The Food and Agriculture Organization (FAO), harga rata-rata kedelai pada Desember 2020 tercatat sebesar USD 461 ton, naik 6 persen dibanding bulan sebelumnya yang tercatat USD 435 ton.

Kendati begitu Didi mengungkapkan Kemendag terus memberikan dukungan penuh kepada pengrajin tempe tahu, agar mereka tetap lancar produksinya. Artinya Kemendag ikut menjamin pasokan bahan baku kedelai ini kepada para pengrajin tempe tahu.

“Kita informasikan kepada para importir agar mereka tetap bisa melakukan pelayanan penjualan bahan baku kepada pengrajin dan saya kira mereka sangat berkomitmen tidak ada masalah,” ujarnya.

Adapun Didi berpesan kepada masyarakat untuk tetap membeli tahu dan tempe, karena kandungan protein dan gizinya tinggi. Apalagi dalam masa pandemi covid-19 ini kita membutuhkan imunitas dan kebugaran tubuh yang kuat, terutama tahu dan tempe bisa dibeli dengan harga terjangkau.

“Sebenarnya harga tahu dan tempe masih terjangkau untuk masyarakat dan ini salah satu asupan yang punya protein yang tinggi, maka masyarakat tetaplah membeli tahu dan tempe sekaligus membantu para pengrajin tahu untuk terus berporduksi walaupun ada sedikit kenaikan harga,” pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.