Liputan6.com, Jakarta - Komisi VI DPR RI meminta pemerintah segera menyelesaikan persoalan pajak antara PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk dengan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Pasalnya sengketa pajak ini dapat mencoreng iklim usaha di Indonesia. Dimana perusahaan pelat merah berseteru dengan lembaga pemerintah.
"Saya selaku anggota Komisi VI meminta Menteri BUMN dan Menteri Keuangan pro aktif, duduk bersama untuk menyelesaikan persoalan ini," ujar Anggota Komisi VI DPR RI Andre Rosiade, dikutip Rabu (6/1/2021).
Komisi VI DPR RI, berharap dengan duduk bersama antara dua kementerian dapat menyelesaikan persoalan pajak tahun 2012 tersebut. Ia berharap PGN yang merupakan BUMN tidak dirugikan karena salah tafsir mengenai aturan pajak.
Advertisement
"Terlebih lagi, jangan sampai negara dirugikan. Sebetulnya kan kasus ini kalau merujuk pada surat direktur perpajakan per Januari 2020, sudah menyatakan bahwa objek yang disengketakan bukan objek PPN," tuturnya.
Ia melihat bahwa langkah Peninjauan Kembali (PK) yang dilakukan oleh PGN untuk kali kedua di MA sudah tepat lantaran berpegang pada Surat Direktur Perpajakan pada tanggal 15 Januari 2020 (S-2/PJ.02/2020 yang menegaskan bahwa objek yang menjadi sengketa bukan objek PPN.
"Langkah PK kedua di MA merupakan langkah yang perlu dilakukan PGN. Kami di Komisi VI mendorong agar pemerintah bisa menyelesaikan ini secara tepat dengan solusi yang terbaik," jelasnya.
Sebagai informasi, sengketa Perusahaan gas pelat merah dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan ini awalnya terjadi atas transaksi pada tahun pajak 2012 dan 2013, dan membuat PGAS berpotensi membayar Rp 3,06 triliun.
Sekretaris Perusahaan PGN Rachmat Hutama menjelaskan sengketa ini telah dilaporkan di dalam catatan Laporan Keuangan Perseroan per 31 Desember 2017.
Dilansir dari keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (4/1), Rachmat menjelaskan sengketa yang terjadi pada tahun 2012 berkaitan dengan perbedaan penafsiran dalam memahami ketentuan perpajakan yaitu PMK-252/PMK.011/2012 terhadap pelaksanaan kewajiban pemungutan PPN atas penyerahan gas bumi.
Kemudian, sengketa tahun 2013 berkaitan dengan perbedaan pemahaman atas mekanisme penagihan Perseroan. Rachmat melanjutkan, pada Juni 1998 PGAS menetapkan harga gas dalam USD per MMBTU dan Rp per M3. Hal itu disebabkan oleh melemahnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika.
"Namun, DJP berpendapat porsi harga Rp per M3 tersebut sebagai penggantian jasa distribusi yang dikenai PPN, sedangkan Perseroan berpendapat harga dalam USD per MMBTU dan Rupiah per M3 merupakan satu kesatuan harga gas yang tidak dikenai PPN," kata Rachmat.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tersandung Sengketa Pajak, Kementerian BUMN Minta PGN Tempuh Jalur Hukum
Akibat kekalahan sengketa pajak senilai Rp 3,06 triliun, harga saham PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) auto reject bawah (ARB) di hari pertama perdagangan bursa 2021.
Pada menit awal perdagangan sesi I Senin (4/1/2020), harga saham PGAS anjlok ke posisi Rp 1.540 per saham, turun 6,95 persen dari penutupan akhir tahun lalu.
Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga menjelaskan, sengketa ini bermula pada kasus pajak 2012. Saat peninjauan kembali di Mahkamah Agung, PGN telah dinyatakan menang.
“Sebelumnya sudah ada juga peraturan keluar dari direktur peraturan pajak bahwa objek pajak tersebut yang dipermasalahkan tersebut sebenarnya bukan lah objek pajak, ini sudah mereka akui sekitar 2014-2017,” ujar Arya dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Senin, 4 Januari 2021.
Oleh karena itu, Kementerian BUMN akan membicarakan sengketa pajakdengan Kementerian Keuangan. Selanjutnya, Kementerian BUMN akan meminta PGN untuk melakukan langkah hukum berkelanjutan.
"Kami akan minta untuk PGN melakukan langkah-langkah hukum, misalnya melakukan langkah hukum PK 2 namanya, itu memungkinan karena sudah diakui bahwa ini bukan objek pajak,” kata Arya.
Advertisement