Liputan6.com, Jakarta - Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan masih maraknya potensi tindak pidana pencucian uang (TPPU) di sepanjang 2020 lalu, termasuk di sektor perpajakan.
Kepala PPATK Dian Ediana Rae mengatakan, potensi TPPU di bidang perpajakan pada tahun lalu mencapai angka Rp 20 triliun.
Baca Juga
"Potensi yang dapat diperoleh dari tindak lanjut analisis dan pemeriksaan yang dilakukan penegak hukum di sektor perpajakan sebesar Rp 20 triliun," ungkapnya dalam acara Koordinasi Tahunan PPATK secara virtual, Kamis (14/1/2021).
Advertisement
Dari jumlah tersebut, Dian menyampaikan, sebanyak Rp 9 triliun berhasil diamankan untuk dimasukan sebagai penerimaan negara.
Keberhasilan tersebut didapat berkat hasil joint operation antara tiga pihak, yakni PPATK beserta Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan.
"Selama 2020, pemanfaatan terhadap hasil analisis tindak pidana pencucian uang dalam hasilkan kontribusi penerimaan negara sebesar Rp 9 triliun," jelas Dian.
Lebih lanjut, Dian turut mewanti-wanti jika tindak pidana pencucian uang dan korupsi ke depannya masih menjadi persoalan serius yang harus terus diperhatikan oleh seluruh pemangku kepentingan.
"Hasil analisis dan pemeriksaan ini didominasi oleh pejabat pemerintah, kepala daerah, pejabat BUMN, dengan modus utama gratifikasi dan suap untuk perizinan, serta pengadaan barang dan jasa," tandasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
PPATK Endus Peran Pencuci Uang Profesional di Kasus Jiwasraya
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengidentifikasi adanya peran pencuci uang profesional dalam kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Professional money launderer ini dinilai memiliki kemampuan dalam rangka penempatan atau perpindahan dana dari satu rekening ke rekening lainnya secara sistemik.
Selain itu, mereka juga mempunyai kemampuan membantu para pelaku tindak pidana dalam menyembunyikan, menyamarkan dan mengatur jejak transaksi pada Jiwasraya.
Direktur Analisis Transaksi PPATK Aris Prianto mengungkapkan, pencuci uang profesional ini juga sengaja memperpanjang audit riil transaksi dari pemegang polis Jiwasraya, seolah-olah dana yang disamarkan berasal dari dana investasi yang dilakukan.
"Kita melihat ada beberapa orang yang seperti, yang kami sebutkan sebagai professional money launderer. Jadi semacam profesional yang ahli mengenai keuangan dan pasar modal yang bisa mengarahkan pemilik uang itu untuk mendapatkan dana-dana tertentu," ungkapnya di Bogor, Kamis (17/12/2020).
Aris melanjutkan, ternyata saham yang ditawarkan adalah bodong. Modus operandinya, saham bodong itu didorong untuk dibeli saat harganya sedang tinggi, namun ketika diuangkan nilai jualnya lagi sudah anjlok.
"Profesional money launderer inilah yang bisa meyakinkan pemilik uang untuk membeli saham-saham tertentu," kata Aris.
Dalam investigasi yang dilakukan, ia menyebutkan, PPATK hanya membutuhkan nama-nama yang dinilai memiliki keterkaitan dengan Jiwasraya. Kumpulan nama kitu kemudian dikaitkan dengan database yang dimiliki PPATK. Dalam proses ini, nama pelaku akan dicocokan oleh rekening yang dimilikinya.
"Yang kami butuhkan sebenarnya hanya nama. Kemudian kita punya database yang bisa mengaitkan antara nama yang bersangkutan dengan rekening banknya. Tadi kita punya wewenang, atas dasar permintaan dari Kejaksaan Agung, berikut nama-namanya. Kita bisa akses atau dibukakan data rekening itu kepada kami, dari mutasi rekening orang-orang itu, kita mengetahui keterkaitannya," urainya.
Advertisement
Berhubungan Erat dengan Pejabat
Saat dikonfirmasi dari mana money launderer ni berasal, Aris enggan menyebutnya secara gamblang. Meski begitu, ia mengatakan kelompok ini berhubungan erat dengan pejabat atau manajemen Jiwasraya lama yang sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Adapu dalam penelusuran kasus Jiwasraya, PPATK telah memproduksi 2 laporan hasil analisis yang berdifat reaktif, 6 hasil analisis proaktif, serta 11 laporan hasil analisis. Kesemuanya merupakan permintaan Kejaksaan Agung.
Kemudian, PPATK juga diminta oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan untuk menghitung potensi pajak dari pelaku yang terlibat dalam kasus Jiwasraya. Dalam hal ini, PPATK menyodorkan 2 laporan hasil analisis reaktif dan 2 hasil analisis proaktif.
Untuk Bareskrim, atas kasus jiwasraya ini juga PPATK telah menyampaikan 1 hasil analisis reaktif. Lalu kepada Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) juga disampaikan 10 laporan informasi.
"Dari KPK sendiri kami sampaikan kepada mereka satu laporan analisis reaktif. Kemudian dari OJK kami menyampaikan satu laporan informasi, dimana laporan ini berbeda dengan yang kami sampaikan kepada para penegak hukum. Kami menyampaikan tidak dalam bentuk hasil analisis, tapi dalam bentuk informasi," tuturnya.Â