Liputan6.com, Jakarta - Direktur Surat Utang Negara Kementerian Keuangan Deni Ridwan mengatakan, investasi Obligasi Ritel (ORI) negara dapat menghindarkan pemilik dana dari tiga faktor resiko investasi. Ketiga risiko tersebut antara lain risiko gagal bayar, risiko pasar dan likuiditas.
"Pertama risiko gagal bayar, itu karena dijamin pemerintah pembayaran kupon dan bayarannya, bisa dibilang risiko defaultnya zero percent," ujar Deni dalan diskusi daring, Jakarta, Senin (25/1/2021).
Baca Juga
Kemudian kedua, kata Deni, risiko pasar. Risiko pasar ini intinya dibandingkan tingkat kupon yang diterima fixed rate dengan pergerakan imbal hasil di pasar dalam waktu ke depan.
Advertisement
"Dengan kupon ORI 5,57 persen ini masih menarik, kita sekarang dalam era suku bunga rendah. Yang bisa jadi acuan adalah subung BI 7 days repo rate 3,75 persen, ini bisa jadi patokan untuk berbagai instrumen investasi apa saja yang ditawarkan dengan ORI019," jelasnya.
Ketiga adalah risiko likuiditas. Salah satu obligasi yang ditawarkan pemerintah saat ini adalah ORI19. ORI19 dipastikan mudah diperjualbelikan setelah selesai masa holding period. Bahkan harganya bisa lebih tinggi jika dijual di secondary market.
"Ketika sudah lewat holding periode bisa dijual anytime. Dan, kalau jual di secondary market, ada potensi harga jual lebih tinggi dibandingkan sekarang, ada capital gain. Itu satu keuntungan," tandas Deni.
Anggun P. Situmorang
Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Investor Milenial Dominasi Pembeli Obligasi Ritel
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat tingkat kesadaran milenial dalam melakukan investasi pembelian Obligasi Ritel Negara (ORI). Hal tersebut terlihat dari penjualan ORI17 dan ORI18 yang didominasi oleh milenial.
Direktur Surat Utang Negara (SUN) Kementerian Keuangan Deni Ridwan mengatakan, data penerbitan ORI17 mendapatkan nasabah 42.000 investor. Kemudian ORI18, 26.000 investor sebab akhir tahun sehingga berkurang.
"Dari jumlah tersebut 45 hingga 46 persen itu investor baru, dan kalau bicara sisi generasi milineal 30 hingga 40 persen. Jadi generasi milenial dari sisi investor memang merupakan yang terbesar meski dari sisi nilai masih tetap baby boomer yang memiliki punya duit baik. Jadi meski nilainya dikit tapi jumlah investasi lebih besar," ujarnya, Jakarta, Senin (25/1).
Deni menjelaskan, sisi positif apabila milenial semakin sadar investasi adalah meningkatkan kemampuan keterlibatan masyarakat dalam melakukan pembiayaan pembangunan negara. Kondisi tersebut diharapkan dapat menekan ketergantungan utang luar negeri
"Sisi yang positif harapannya ketika begitu generasi milenal punya budaya kesadaran manfaat investasi. Dengan beranjak lebih dewasa penghasilan lebih meningkat maka diapun akan tingkatkan porsi investasi," jelasnya.
"Diharapkan ke depan jadi modal suatu negara agar dapat lebih mandiri dari sisi pembiayaan pembangunan. Kita tidak lagi banyak menggantungkan pembiayaan dari luar sebab ingin mendapatkan pendapatan dari dalam negeri," sambungnya.
Deni menambahkan, keterlibatan milenial dal investasi ORI sangat disarankan. Namun harus dibarengi dengan ilmu yang memadai agar para investor muda tersebut mampu mempertimbangkan dana yang dimiliki untuk diinvestasikan dibidang tertentu.
"Jadi yang dapat manfaat itu investor-investor dalam negeri statusnya masih milenial. Ini suatu tren sangat positif perlu didukung yang perlu diingat luar biasa semangat, tapi kadang ilmu yang agak kurang. Sehingga perlu perluasan ilmu," tandasnya.
Advertisement