Liputan6.com, Jakarta Masa pandemi justru membuat para CEO perusahaan di dunia mengantongi kekayaan yang berlipat-lipat. Bahkan para bos perusahaan di Inggris telah memperoleh jumlah kekayaan yang sama dengan rata-rata penghasilan pekerja di Inggris dalam setahun penuh.
Bagaimanakah mereka bisa mendapatkannya? Apakah akan terus berjalan mulus sehingga kekayaannya akan semakin bertambah?
Baca Juga
Sebuah analisis yang dilakukan Economic Policy Institute, lembaga pemikir di Washington DC, menunjukkan bahwa kepala eksekutif dari 350 perusahaan terbesar AS memperoleh rata-rata kekayaan hingga USD 21,3 juta di 2019. Kekayaan itu meningkat lebih dari lima kali lipat jika dibandingkan ketika tahun 1989.
Advertisement
Adanya pandemi Virus Korona yang muncul menimpa hampir seluruh dunia telah memperburuk keadaan. Tak hanya itu, pandemi pun telah membuat banyak populasi berpenghasilan rendah, menghadapi risiko kesehatan yang lebih besar, kehilangan pekerjaan, serta menyebabkan penurunan kesejahateraan.
Tentu sangat berlawanan antara bos-bos besar dengan orang-orang yang bisa dibilang keadaannya di kelas menengah bawah. Akibatnya kebingungan dan kemarahan yang memuncak ketika mengetahui atas gaji yang luar biasa tinggi yang terus diperoleh dari para bos.
Ketidaksetaraan itu telah menimbulkan berbagai pertanyaan, mengapa itu bisa terjadi dan apakah para bos akan terus berada di puncak teratas karena penghasilannya.
Ternyata ini beberapa alasan gaji CEO terus bertambah:
1. Gaji berdasarkan harga
Kesenjangan tersebut berawal dari gaji eksekutif yang berakar pada kebijakan tahun 1980-an yang diajukan oleh Pemerintah Reagan di AS dan Pemerintah Thatcher di Inggris. Filosofi politik telah mendorong deregulasi, privatisasi sektor publik, dan kapitalisme pasar bebas.
Namun, Sandy Pepper, seorang ahli dalam gaji eksekutif di London Scholl of Economics mengatakan, sistem itu sudah rusak ketika gaji eksekutif dikaitkan dengan harga saham dan penghargaan berbasis aset lepas landas di bawah neoliberalisme yang berlaku.
Logika yang mendasarinya adalah pembayaran CEO yang diberikan sesuai dengan kinerja keuangan perusahaan karena merekalah yang berperan besar dalam kesuksesan perusahaan.
Selain mendapat gaji pokok, jika menjabat sebagai CEO juga nantinya akan mendapatkan bonus terkait kinerja serta opsi saham.
Robin Ferracone, CEO Farient Advisors menyetujui jika konsultan pembayaran eksekutif intrenasional dibayar dengan gaji berdasarkan harga.
“Jika Anda memiliki CEO yang baik, multiplier effect bisa sangat besar. Jadi prinsipnya sangat masuk akal jika kinerja median akan mendapat bayaran media, kinerja tinggi akan mendapat bayaran tinggi,” ujarnya, seperti melansir laman BBC, Sabtu (29/1/2021).
2. Seperti berjalan di atas telur
Namun pada kenyataannya, sistem perhitungan remunerasi CEO lebih rumit. Banyak perusahaan mengandalkan komite kompensasi yang sebagian besar terdiri dari anggota dewan dan eksekutif.
Menurut Steven Clifford, mantan CEO dan penulis The CEO Pay Mesin, selain ukuran dari pengalaman kinerja, komite kompensasi menggunakan pembanding sebagai bagian terpenting dari prosesnya.
Sedangkan dalam studi Journal of Financial Economic tahun 2019 menyimpulkan, sistem komite kompensasi tersebut dapat mempercepat inflasi gaji karena perusahaan memungkinkan justifikasi tingkat tinggi gaji CEO mereka.
Perihal bonus, hal itu kemudian disepakati sebagai cara untuk mengukur kinerja. Baik peningkatan berdasarkan ukuran keuangan atau jika tujuan dapat terpenuhi.
“Semakin besar perusahaan, semakin banyak CEO mendapatkan penghasilan,” ujar Pepper.
3. CEO adalah kunci kesuksesan
“CEO adalah kunci sukses,” kata Daniel Pryor, Kepala Program di Adam Smith Institute. Sangat terbatas dan sulit dicari seseorang yang memiliki keterampilan, kepribadian, dan watak untuk menjadi CEO perusahaan.
Pryor menunjukkan beberapa contoh CEO, seperti Steve Jobs dari Apple, Jeff Bezos dari Amazon, dan Elon Musk dari Tesla dan SpaceX. Mereka-mereka adalah talenta luar biasa yang telah menggebrak teknologi revolusioner sejak awal.
Seorang pakar manajemen pembayaran yang juga menulis buku Pay Check : Are Top Earners Really Worth It? David Bolchover mengatakan, ada beberapa alasan mengapa perusahaan dapat berkinerja baik. “Mungkin perekonomian atau sektornya sedang naik atau mungkin beroperasi dalam oligopoli,” ujarnya.
Selain itu, Bolchover mengatakan krisis keuangan global ketika 2008 adalah contoh bagaimana kinerja dan pembayaran tidak selaras.
“Banyak bank-bank bangkrut selama krisis. Orang-orang kemudian bertanya mengapa mereka dibayar begitu banyak bahkan setelah krisis?”
Menurut Bolchover, pusaran kepentingan pribadi antara pemegang saham, anggota dewan, dan eksekutif adalah salah satu alasan mengapa penghasilan CEO tidak mengalami penurunan. Hal itulah yang dinilai mengapa adanya tekanan yang meningkat dari masyarakat umum.
4. Langkah maju yang dramatis
Gaji para petinggi perusahaan terus naik, sedangkan hak-hak para pegawai justru menurun – terutama bagi para staf garis tedepan di tengah pandemi seperti sekarang ini.
Namun, seiring berjalannya waktu, tanda-tanda kenaikan gaji bagi para CEO setidaknya terlihat melambat. Paul Lee seorang konsultan investasi mengatakan, gaji CEO di Inggis telah stabil dalam beberapa tahun terakhir.
Lee percaya bahwa akan ada perubahan pola pikir institusional. Di mana mereka berinvestasi di perusahaan bergaji tinggi, tetapi pada akhirnya didanai oleh masyarakat umum – melalui dana pensiun dan investasi – dan kemudian menyadari adanya ketidaknyamanan.
Di tengah pandemi seperti sekarang ini, para eksekutif di beberapa perusahaan terkemuka, seperti Boeing, Marriott International, dan PwC secara sukarela telah mengorbankan sebagian dari gaji mereka untuk menyelamatkan pekerja staf di tahun 2020.
Lain halnya dengan beberapa perusahaan tadi, Luke Hildyard yang merupakan direktur di High Pay Center mengambil langkah untuk mengurangi kesenjangan gaji. Langkah yang dilakukan adalah mendistribusikan penghasilan perusahaan secara lebih merata ke seluruh tenan kerja.
“Meningkatkan kehidupan orang-orang normal dengan penambahan uang yang relatif kecil dapat menjadi transformasional. Itu akan menjadi langkah maju yang dramatis,” kata Hildyard.
Hildyard pun berpendapat, beberapa penelitian menunjukkan bahwa negara yang tidak setara cenderung melakukan tindakan yang buruk, termasuk kohesi sosial, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, serta tingkat kejahatan dan pendidikan. Jika sudah begitu, tingkat ketimpangan akan lebih tinggi dirasakan bagi masyarakat biasa.
Reporter: Aprilia Wahyu Melati
Advertisement