Liputan6.com, Jakarta - Dalam buku Laporan Perekonomian Indonesia 2020, Bank Indonesia menuliskan penurunan ekonomi merosot sejak triwulan II-2020. Meskipun secara bulanan, penurunan perekonomian nasional dimulai sejak Maret 2020.
"Penurunan tajam pertumbuhan ekonomi terjadi pada triwulan II 2020, meskipun secara bulanan penurunan telah terjadi sejak Maret 2020," tulis Bank Indonesia dalam Buku Laporan Perekonomian Indonesia 2020 yang diluncurkan Rabu, (27/1).
Baca Juga
Pada triwulan I-2020, pertumbuhan ekonomi nasional melambat menjadi 2,97 persen (yoy). Perekonomian nasional pun mengalami kontraksi sebesar 5,32 persen pada triwulan II-2020. Lalu pada triwulan III-2020, perekonomian nasional kembali mengalami kontraksi sebesar 3,49 persen.
Advertisement
Penurunan pendapatan dan transaksi ini terjadi akibat mobilitas yang terbatas dan menyebabkan konsumsi rumah tangga turun signifikan pada semester pertama.
Kegiatan investasi juga turun tajam akibat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sehingga beberapa proyek konstruksi baik Pemerintah maupun swasta tertunda.
Konsolidasi yang dilakukan korporasi seiring lemahnya permintaan domestik mengakibatkan rencana investasi korporasi tertunda.
Sementara itu, realisasi belanja Pemerintah masih terbatas pada semester I 2020. Ini terjadi akibat adanya hambatan dalam realisasi anggaran. Sehingga mengakibatkan dorongan belanja Pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi juga terbatas.
Di sisi ekspor, kinerja hampir seluruh ekspor barang terdampak oleh pelemahan permintaan negara tujuan. Meskipun demikian, kinerja beberapa komoditas ekspor manufaktur masih tercatat membaik sejalan dengan pemulihan permintaan dari China yang lebih cepat.
Ekspor jasa juga terkontraksi sangat dalam akibat penurunan jumlah wisatawan mancanegara (wisman). Terutama dari Tiongkok dan Eropa, karena penyebaran virus dan pembatasan wisman masuk ke Indonesia.
Â
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Menerawang Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2021
Pemerintah Jokowi - Ma'ruf memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di tahun ini berada dikisaran 5,5 persen. Perkiraan itu sejalan dengan proyeksi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Pembangunan Asia (ADB), International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB) dan Organisasi Kerja Sama Pembangunan dan Ekonomi atau OECD OECD.
"Memang bervariasi (pertumbuhannya) tapi menuju ke arah sangat positif dibandingkan 2020," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, dalam diskusi Akselerasi Pemulihan Ekonomi, secara virtual, Selasa (26/1/2021).
Dia menyadari pada kuartal I-2021 memang pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan mengalami tantangan. Namun di sisi lain, perbaikan ekonomi sendiri sebetulnya sudah dirasakan pada kuaral III-2020, dan akan diikuti di kuartal IV-2020.
"Kuartal IV-2020 semakin membaik bahkan ekspor pulih, PMI membaik, konsumsi semen membaik, investasi dari BKPM terlihat pemulihan kuat," sebut dia.
Akan tetapi, meski secara trend mengalami perbaikan, bukan berarti pertumbuhan tahun ini tanpa risiko. Apalagi pandemi Covid-19 masih bersarang di Tanah Air. Oleh karenanya dia ingin proses vaksinasi tetap berjalan efektif dengan melakukan disiplin 3M dan 3T.
Proses dari vaksinasi sendiri memberikan optimismenya di market, dan ada beberapa bahkan yang sudah masuk ke dalam harga saham. Di sisi lain, capital inflow terjadi sehingga pasar sudah melihat bagaimana vaksinasi memberikan sentimen positif, dan harapannya bisa menaikkan aktivitas ekonomi masyarakat.
"Walau vaksinasi berjalan, kasus covid harus dikelola sehingga tidak ada lagi pembatasan-pembatasan yang kita tahu itu dampaknya pengurangan dari aktvitas ekonomi," kata dia.
Dia melihat untuk tahun 2021 arahnya pertumbuhan ekonomi memang cukup positif. Bahkan sudah ada datanya. Hanya saja, itu tidak akan cukup jika tidak didukung dengan proses vaksinasi. "Karena dengan demikian kita bisa pulihkan aktivitas perekonomian lebih baik," sebut dia.
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di 2021, pemerintah juga melanjutkan program PEN yang anggarannya mencapai sebesar Rp372,3 triliun. Angka tersebut lebih rendah 53,55 persen dari pagu anggaran PEN di tahun 2020 yang sebesar Rp685,2 triliun.
"Untuk dukungan, kami terus pantau apa yang harus dilakukan. Program untuk PEN tetap dilanjutkan," jelas dia.
Advertisement
Enam Prioritas
Adapun anggaran tersebut akan dialokasikan untuk enam prioritas. Pertama anggaran kesehatan. Pemerintah menyiapkan Rp25,40 triliun, lebih rendah dari sebelumnya sebesar Rp87,55 triliun. Anggaran itu nantinya akan digunakan untuk pengadaan vaksin Covid-19 Rp18 triliun, kemudian untuk imunisasi, sarpras, lab, dan Litbang Rp4,97 triliun, serta cadangan bantuan iuran BPJS untuk PBPU/BP senilai Rp2,43 triliun.
Kedua perlindungan sosial sebesar Rp110,2 triliun. Alokasi ini lebih rendah dari sebelumnya yang mencapai Rp203,9 triliun. Uang tersebut akan dialokasikan untuk PKH 10 juta penerima manfaat Rp28,7 triliun, sembako Rp45,1 triliun, program prakerja Rp10 triliun, dana desa Rp14,4 triliun, dan bantuan sosial tunai Rp12,0 triliun.
Ketiga untuk sektor kementerian lembaga dan pemerintahan daerah, sebesar Rp152,4 triliun. Anggaran ini meningkat dari 2020 yang hanya sebesar Rp106,11 triliun. Anggaran itu nantinya akan dialokasikan untuk dukungan pariwisata sebesar Rp5,46 triliun, ketahanan pangan Rp14,96 triliun, pengembangan ICT sebesar Rp19,4 triliun, pinjaman ke daerah Rp10 triliun, padat karya kementerian lembaga Rp14,2 triliun, kawasan industri Rp12,7 triliun, dan cadangan belanja PEN Rp75,8 triliun.
Keempat akan diberikan kepada UMKM. Pemerintah menyiapkan dana sebesar Rp48,8 triliun. Alokasi ini lebih rendah daripada 2020 yang sebesar Rp123,46 triliun. Adapun uang tersebut akan dialokasikan untuk subsidi bunga KUR reguler Rp14,8 triliun, dukungan pembiayaan terhadap KUMKM Rp 1 triliun, penempatan dana di perbankan (masih dihitung), penjaminan loss limit Rp1 triliun, serta cadangan pembiayaan PEN Rp32,0 triliun.
Kelima untuk pembiayaan korporasi sebesar Rp14,9 triliun, atau lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai sebesar Rp53,57 triliun. Anggaran tersebut akan dialokasikan untuk PMN kepada lembaga penjaminan senilai Rp5 triliun, PMN kepada BUMN yang menjalani penugasan Rp8,9 triliun, dan penjaminan backstop loss limit Rp1 triliun.
Terakhir untuk insentif usaha senilai Rp20,40 triliun, atau lebih rendah daripada anggaran 2020 yang sebesar Rp120,61 triliun. Uang tersebut nantinya akan dialokasikan untuk pajak DTP Rp3,1 triliun, pembebasan PPh 22 impor Rp12 triliun, dan pengembalian pendahuluan PPN 5,3 triliun.
Dwi Aditya Putra
Merdeka.comÂ