Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 6/PMK.03/2021 tentang Perhitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta Pajak Penghasilan atas Penyerahan atau Penghasilan sehubungan dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucher.
Beleid tersebut menyebutkan, penjualan pulsa, kartu perdana, token dan voucher akan dikenakan pajak.
"Untuk menyederhanakan administrasi dan mekanisme pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan pulsa oleh penyelenggara distribusi pulsa, perlu mengatur ketentuan mengenai penghitungan dan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak Penghasilan atas penyerahan atau penghasilan sehubungan dengan penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucer," demikian dikutip Liputan6.com dari PMK Nomor 6/2021, Jumat (29/1/2021).
Advertisement
Pasal 2 beleid tersebut menjelaskan, penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Penyelenggara Jasa Telekomunikasi dan Penyelenggara Distribusi dikenai PPN. Barang Kena Pajak sebagaimana ialah berupa pulsa dan kartu perdana yang dapat berbentuk Voucer fisik atau elektronik.
Kemudian, penyerahan Barang Kena Pajak oleh Penyedia Tenaga Listrik dikenai PPN. Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud ialah berupa Token.
Selain itu, PMK ini juga mengatur pengenaan PPN atas Jasa Kena Pajak berupa:
a. jasa penyelenggaraan layanan transaksi pembayaran terkait dengan distribusi Token oleh Penyelenggara Distribusi;
b. jasa pemasaran dengan media Voucer oleh Penyelenggara Voucer;
c. jasa penyelenggaraan layanan transaksi pembayaran terkait dengan distribusi Voucer oleh Penyelenggara Voucer dan Penyelenggara Distribusi; atau
d. jasa penyelenggaraan program loyalitas dan penghargaan pelanggan (consumer loyalty/reward program) oleh Penyelenggara Voucer.
"Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Februari 2021," demikian dikutip dari Pasal 21. Adapun, beleid ini diteken oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada tanggal 22 Januari 2021.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Penerimaan Pajak di 2020 Kurang Rp 128,8 Triliun
Sebelumnya, penerimaan pajak sepanjang 2020 tidak sesuai dengan target. Realisasi penerimaan pajak di tahun lalu hanya Rp 1.070,0 triliun atau 89,3 persen dari target Rp 1.198,8 triliun. Penerimaan pajak ini mengalami shotfall atau kurang Rp 128,8 triliun.
"Untuk penerimaan pajak realisasi 2020 Rp 1.070 triliun, kontraksi 19,7 persen," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam APBN KiTa 2020, Rabu (6/1/2021).
Jika dilihat secara rinci, setoran pajak yang mencapai Rp 1.070,0 triliun ini berasal dari PPh migas sebesar Rp 33,2 triliun. Angka ini tercatat 104,1 persen dari target yang sebesar Rp 31,9 triliun.
Sedangkan yang berasal dari pajak non-migas sebesar Rp 1.036,8 triliun atau 88,8 persen dari target Rp 1.167,0 triliun.
Adapun pajak non-migas terdiri dari PPh non migas yang realisasinya sebesar Rp 560,7 triliun atau 87,8 persen dari target Rp 638,5 triliun. Pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp 448,4 triliun atau 88,4 persem dari target Rp 507,5 triliun.
Selain itu, untuk pajak bumi dan bangunan (PBB) Rp 21,0 triliun atau 155,9 persen dari target Rp 13,4 triliun. Terakhir, pajak lainnya sebesar Rp 6,8 triliun atau 90,6 persen dari target Rp 7,5 triliun.
Advertisement
Bea Cukai
Sedangkan digabungkan dengan penerimaan bea dan cukai, maka penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.282,8 triliun atau 91,3 persen dari target Rp 1.404,5 triliun. Angka realisasi penerimaan perpajakan tercatat terkontraksi 17 persen.
Khusus bea dan cukai, realisasinya mencapai Rp 212,85 triliun atau 103,48 persen dari target Rp 205,68 triliun. Setoran ini berasal dari cukai sebesar Rp 176,31 triliun, bea masuk sebesar Rp 32,30 triliun, dan bea keluar sebesar Rp 4,24 triliun.