Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi mengatakan, untuk mengoptimalkan transformasi menuju negara penghasil dan pengekspor barang industri dan industri berteknologi tinggi di 2021, perlu didukung melalui perjanjian perdagangan internasional. Sebab, cara ini dinilai sangat penting karena untuk ekspor produk lebih banyak, perlu membuka pasar yang lebih luas.
"Saat ini merupakan era kolaborasi, bukan lagi era persaingan. Untuk memajukan ekspor di era ini, kita harus membuka pasar Indonesia juga. Untuk itu, diperlukan kesiapan ekspor yang optimal agar kita mampu berkolaborasi dengan berbagai negara melalui perjanjian dagang yang sudah ada untuk saling membuka pasar, sekaligus berupaya meningkatkan nilai tambah masing-masing produk yang diekspor di tahun ini," ujar dia dalam konferensi pers Trade Outlook 2021, Jumat (29/1).
Baca Juga
Selain itu, peluang peningkatan ekspor ke negara-negara nontradisional juga terus digali. "Ini sebagai langkah antisipatif menghadapi kondisi perekonomian di negara-negara tujuan ekspor utama Indonesia yang tertekan akibat pandemi Covid-19," terangnya.
Advertisement
Apalagi, kata Mendag, nilai ekspor Indonesia pada 2020 ke sejumlah kawasan nontradisional tumbuh cukup tinggi di tengah tekanan pertumbuhan ekonomi global. Untuk Eropa Barat nilai ekspor meningkat sebesar 17,07 persen, Australia sebesar 14,52 persen, dan Eropa Timur sebesar 99,9 persen.
"Dengan terjalinnya perdagangan yang lebih luas, diharapkan menjadi pemantik datangnya investasi yang mendorong industrialisasi. Dengan demikian, kolaborasi yang menghasilakn barang bernilai tambah dapat terwujud," lanjut mantan Dubes RI untuk Jepang.
Sejumlah strategi lain yang akan dilakukan untuk meningkatkan ekspor, yaitu promosi dagang di dalam dan luar negeri. Misalnya penyelenggaraan Trade Expo Indonesia 2021 di Indonesia dan keikutsertaan pada Expo 2020 Dubai, Uni Emirat Arab.
Kemudian, juga ada penguatan misi dagang yang meliputi forum bisnis, business matching, dan dialog bisnis secara digital. "Pemanfaatan teknologi digital akan menjadi salah satu solusi dalam menggerakkan perekononiman di tengah kondisi pandemi Covid-19 dengan masih terbatasnya mobilitas antarnegara," tandasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Mendag: Surplus Neraca Perdagangan 2020 Terbesar Sepanjang Sejarah Indonesia
Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi menyebut neraca perdagangan tahun 2020 memperoleh surplus terbesar sepanjang sejarah Indonesia yakni USD 21,7 miliar.
“Total daripada trade nonmigas kita adalah surplus USD 21,7 miliar, seperti saya utarakan ini adalah salah satu surplus terbesar dalam sejarah Indonesia terutama pasca daripada finansial krisis tahun 1998,” kata Mendag dalam konferensi pers Trade Outlook 2021, Jumat (29/1/2021).
Kendati surplus, tetap saja ekspor non migas Indonesia terkoreksi. Jika dilihat hasil dari pada ekspor 2020 nilainya USD 163,3 miliar yang merupakan perolehan dari ekspor Migas sebesar USD 8,3 miliar dan non migas sebesar USD 155 miliar.
Mendag menjabarkan struktur ekspor non migas kita terkoreksi sekitar 29,54 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dan ekspor daripada non migas terkoreksi hanya 0,58 persen dari pada tahun 2019 yang jumlahnya mencapai USD 155,9 miliar.
“Dengan semua kajian PSBB pandemi, kita merasa bahwa angka USD 155 miliar itu koreksi yang tidak sampai 0,6 persen ini menunjukkan bahwa resilience (ketahanan) daripada ekspor kita,” jelasnya.
Sedangkan untuk total impor tahun 2020 mencapai USD 141,6 miliar, namun terkoreksi sekitar 17,35 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sehingga bisa diketahui bahwa impor migas lah yang yang membuat neraca perdagangan terseok-seok.
“Jadi kalau kita lihat total daripada impor non-migas kita adalah USD 127,3 miliar atau setara dengan 14,74 persen dibandingkan tahun 2019. Dan ini mungkin capaian terbesar sejak tahun 2012 tetapi perbedaannya tahun 2012 itu harga komoditas melonjak tinggi menyebabkan mendapatkan pendapatan yang luar biasa,” jelas Mendag.
Lebih lanjut Mendag mengatakan terdapat 10 negara yang menjadi destinasi ekspor utama Indonesia. Diantaranya RRT, Amerika Serikat, Jepang, India, Singapura, Malaysia, Filipina, Korea Selatan, Vietnam, dan Thailand.
Demikian surplus tertinggi tahun 2020 diperoleh dari negara Amerika Serikat sebesar USD 11,3 miliar, India USD 6,47 miliar, dan Filipina USD 5,26 miliar.
Advertisement
Neraca Perdagangan 2020 Surplus USD 21,7 Miliar, Mendag Malah Cemas?
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan mencapai USD 21,7 miliar pada 2020 lalu. Namun demikian, Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi justru mengkhawatirkan angka tersebut.
Dia lalu membandingkannya surplus neraca perdagangan Indonesia yang terjadi pada 2012 silam. Lutfi memaparkan, perdagangan Indonesia pada waktu itu surplus karena harga komoditas seperti minyak dan batu bara melambung luar biasa.
Sementara pada 2020 ini, surplus terjadi di saat angka ekspor dan impor menukik tajam. "Hari ini surplus USD 21 miliar mengkhawatirkan, kenapa? Karena ekspor turun 2,6 persen, meski non-migas turun setengah persen. Tetapi impor turun lebih jauh jadi 17,3 persen," jelasnya dalam sesi webinar, Selasa (26/1/2021).
Lutfi kemudian coba melihat ke dalam, apa saja koofisien dari surplus neraca perdagangan tersebut. Dia mendapati bahwa terjadi pelemahan karena Indonesia 70,2 persen barang yang diimpor Indonesia merupakan bahan baku dan bahan penolong.
"Jadi kalau impor turun 17,3 persen saya takut akan terjadi pelemahan terhadap sektor-sektor produksi yang dikonsumsi di dalam negeri," ujar Lutfi.
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan pemerintah saat memasuki pertengahan 2020 lalu pun turut berpengaruh pada sektor perdagangan. Lutfi menyampaikan, sektor perdagangan turun 5,3 persen secara tahunan (year on year) pada kuartal III 2020, serta transportasi dan pergudangan juga turun 16,7 persen.
"Artinya perdagangan terganggu, stocking terganggu, kemudian penyedia akomodasi dan makanan/minuman turun 11,86 persen. Ini menunjukkan orang tidak ke mana-mana," sebut dia.
"Jadi penerapan PSBB sukses, tapi perdagangan turun. Satu sektor yang penting bagi saya pribadi yaitu konsumsi otomotif, turun 18,06 persen, dan perdagangan besar bukan eceran mobil turun 2 persen," tukas Lutfi.