Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan selalu mengelola rasio utang pemerintah di kisaran 38,5 persen dari Produk domestik bruto (PDB). Utang tersebut tidak bisa dihindari mengingat penerimaan negara menyusut dampak dari pandemi Covid-19.
"Sekarang utang kita sekitar 38,5 persen PDB dan tahun ini akan ada di sekitar 39 persen sampai 41 persen," kata Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, dalam Forum Diskusi Salemba bertajuk: Outlook Perekonomian Indonesia 2021, Jakarta, Sabtu (30/1).
Baca Juga
Meningkatnya utang negara selama pandemi karena belanja pemerintah yang tinggi. Sementara penerimaan negara dari pajak dan bukan pajak turun drastis.
Advertisement
"Defisit kita gede karena belanja pemerintah tinggi dan penerimaan negara rendah karena aktivitas ekspor-impor, konsumsi dan investasi terhambat," kata dia.
Sehingga, belanja negara menjadi tumpuan perekonomian nasional. Namun, dibandingkan negara lain, Indonesia jauh lebih baik. Sebab tidak sedikit negara yang mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi sampai dua digit.
Untuk mengatasi kondisi tersebut pun, mereka terpaksa memenuhi keuangan negaranya dengan menarik utang. Mereka harus memiliki dana cadangan yang digunakan untuk membeli vaksin.
"Negara ini mengamankan diri dengan utang. Punya cash untuk beli vaksin secara tunai," kata dia.
Dia menambahkan, beberapa negara yang juga menarik utang selama masa pandemi di antaranya Jerman, Prancis dan Malaysia. "Defisitnya mereka lebih dalam, utangnya lebih dalam juga seperti Jerman, Prancis dan Malaysia," kata dia mengakhiri.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Utang Pemerintah hingga Akhir Desember 2020 Capai Rp 6.074,56 Triliun
Sebelumnya, posisi utang Pemerintah per akhir Desember 2020 berada di angka Rp 6.074,56 triliun dengan rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 38,68 persen. Komposisi utang pemerintah pusat ini didominasi dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN).
Dikutip dari data APBN KITA Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Sabtu (16/1/2021), secara nominal, utang pemerintah mengalami peningkatan dibandingkan periode yang sama di tahun lalu. Hal ini disebabkan pelemahan ekonomi sebagai akibat dari pandemi Covid-19.
komposisi utang pemerintah pusat ini didominasi dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN). Tercatat sampai akhir Desember 2020 utang dalam bentuk SBN mencapai Rp 5.221,65 triliun atau 85,96 persen dari posisi utang.
Adapun rinciannya terdiri dari pasar domestik dan valas. Dari pasar domestik terkumpul Rp 4.025,62 triliun. Terdiri dari Surat Utang Negara sebanyak Rp 3.303,78 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara Rp 721,84 triliun.
Sedangkan dari valas totalnya Rp 1.196,03 triliun. Terdiri dari Surat Utang Negara Rp 946,37 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara Rp 249,66 triliun.
Sementara itu, sisa utang pemerintah berasal dari pinjaman sebesar Rp 852,91 triliun atau 14,04 persen. Terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp 11,97 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp 840,94 triliun.
Lebih rinci, komponen pinjaman luar negeri terdiri dari bilateral, multilateral dan bank komersial. Antara lain pinjaman bilateral sebanyak Rp 333,76 triliun, pinjaman multilateral Rp 464,21 triliun dan pinjaman bank komersial Rp 42,97 triliun.
Dari sisi mata uang, utang pemerintah ini didominasi dengan mata uang rupiah. Besarnya 66,47 persen dari total komposisi utang pada akhir Desember 2020.
Dominasi mata uang ini seiring dengan kebijakan pengelolaan utang yang memprioritaskan sumber domestik dan penggunaan valas sebagai pelengkap untuk mendukung pengelolaan risiko utang valas.
Advertisement