Sukses

Waspada, Harga Ikan Diprediksi Melonjak

Ikan laut sudah musim paceklik, nelayan sulit berlayar dalam mencari ikan karena ombaknya tinggi.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) Abdullah Mansuri mengatakan, masyarakat harus mewaspadai naiknya harga ikan saat ini. sebagai contoh ikan mas kini naik menjadi Rp 37.000 per kilogram (Kg).

“Yang harus waspada itu komoditas ikan, di musim seperti ini laut sedang tidak bagus. Banyak nelayan yang tidak melaut sehingga harganya otomatis naik,” kata Abdullah Mansuri saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (2/2/2021).

Abdullah mencontohkan harga ikan yang melonjak naik yakni ikan mas, yang semula harganya Rp 33.000-34.000 per kg sekarang sudah Rp 37.000, sementara untuk ikan Bandeng di kisaran Rp 35.000.

“Memang untuk ikan laut sudah musim paceklik, nelayan sulit berlayar dalam mencari ikan karena ombaknya tinggi, dan tidak ada ikan juga jadi ritme tahun ini selalu terjadi,” ujarnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, biasanya masyarakat mengambil alternatif komoditas lain ikan lain untuk menghindari mahalnya ikan. Seperti beralih ke ikan tambak. Menurutnya Pemerintah perlu mendorong agar nelayan-nelayan ikan tambak tidak menaikkan harga.

“Pemerintah bisa mengawal dan mendorong agar nelayan-nelayan tambak tidak menaikkan harga,” katanya.

Demikian untuk harga pangan lainnya, Abdullah menyebut masih relatif normal. Seperti daging ayam, telur, dan lainnya masih normal kecuali harga cabai rawit merah yang masih mahal di angka Rp 85.000-90.000 per kilogram.

“Yang masih bertahan tinggi cabai rawit merah, masih pedas diangka Rp 85.000-90.000 per kilogram. Komoditas lain masih relatif normal stoknya ada seperti daging ayam, telur masih relatif normal,” pungkasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Ketergantungan Impor, Penyebab Ketahanan Pangan Indonesia Bermasalah

Sebelumnya, Ekonom dan Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan, ketahanan pangan Indonesia di awal 2021 ini bermasalah karena Indonesia ketergantungan terhadap impor.

“Harga pangan yang volatile (lincah) dan ketergantungan kepada impor menunjukkan betapa ketahanan pangan kita bermasalah,” kata Piter Abdullah saat dihubungi oleh Liputan6.com, Senin (1/2/2021).

Piter menjelaskan, harga naik bisa disebabkan naiknya permintaan atau karena terbatasnya pasokan (supply). Padahal di tengah pandemi Covid-19 ini, permintaan turun sangat drastis.

“Di tengah pandemi sekarang ini kita tahu bahwa demand turun sangat drastis karena turunnya daya beli kelompok masyarakat bawah, sementara kelompok menengah atas menahan konsumsi,” ujarnya.

Dengan demikian, bisa dipastikan naiknya harga pada awal tahun ini lebih disebabkan terbatasnya supply. Keterbatasan supply barang pangan umumnya dikarenakan permasalahan waktu panen dan kebijakan impor, kata Piter Abdullah.

Adapun permasalahan terkait pangan di antaranya harga kedelai mahal. Kenaikan ini dipicu lonjakan harga kedelai di pasar internasional. Harga kedelai di Indonesia yang biasanya Rp 7.000 sempat naik menjadi Rp 9.000 hingga Rp 9.300.

Kemudian harga cabai rawit merah yang tembus hingga Rp 100 per kg. Lalu daging sapi yang langka, lantaran Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) memutuskan menghentikan aktivitas perdagangan daging sapi di wilayah Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jadetabek) sejak 19 Januari malam hingga 22 Januari 2021.

Masalah pangan lainnya yakni harga telur ayam di tingkat peternak secara nasional turun drastis menjadi Rp 16.000-Rp 17.000 per kilogram. Serta adanya kebocoran beras Vietnam, yang masuk ke pasar tradisional Indonesia dengan harga Rp 9.000 per kg. Harga beras tersebut lebih murah daripada beras yang diproduksi petani Tanah Air yang dijual rata-rata Rp 12.000 per kg.