Liputan6.com, Jakarta - Kementerian BUMN akan membentuk holding ultra mikro yang beranggotakan PT Bank Rakyat Indonesia (BRI), PT Pegadaian dan PT Permodalan Nasional Madani (PNM) yang bertujuan untuk menciptakan ekosistem pemberdayaan UMKM.
Direktur Utama BRI Sunarso mengatakan, holding ultra mikro berpotensi membuat suku bunga pinjaman PNM dan Pegadaian turun karena biaya operasionalnya berkurang.
Baca Juga
"Kalau PNM itu bisa turun 3 persen suku bunganya, Pegadaian hanya turun sekitar 1,5 persen," ujarnya dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Selasa (2/2/2021).
Advertisement
Ada 2 cara yang dapat dilakukan untuk menurunkan suku bunga tersebut.
"Pertama, ekses likuiditas dari BRI yang tiap hari itu secondary reserve Rp 150 triliun ditempatkan di money market dengan yield 3 persen, sedang pendanaan PNM dan Pegadaian masih instrumen loan dengan bunga di atas 5 persen," kata dia.
Kedua yaitu meng-issue instrumen dengan bunga yang lebih rendah karena dijamin oleh BRI. "Jadi keuntungan pertama adalah mengefisienkan cost of fund, yang kedua adalah mengefisienkan overrated cost karena jaringannya bisa digunakan bersama-sama," kata Sunarso.
Lanjut Sunarso, peleburan ini akan membantu masing-masing perusahaan untuk bisa fokus ke bidangnya masing-masing.
"PNM jadi makin fokus di group lending dan menangani yang belum layak ke bank, Pegadaian makin fokus digadai yang memberikan pinjaman berdasarkan hukum gadai," katanya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Survei: 81,5 Persen Pengusaha Ultra Mikro Hidup di Kontrakan dan Tanggung Utang
Survei lembaga riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menemukan jika tingkat kesejahteraan keluarga usaha ultra mikro di Jabodetabek sangat rendah. Sebanyak 81,5 persen responden diketahui masih tinggal di rumah kontrakan, serta 58,0 persen diantaranya memiliki utang.
"Sangat ironis, kerentanan hidup keluarga miskin kota ini bisa luput dari bantuan pemerintah. Bahkan, sebesar 47,5 persen responden mengaku sama sekali tidak pernah mendapat bantuan sosial dari pemerintah," tegas Direktur IDEAS Yusuf Wibisono dalam pernyataannya, Jumat (15/1/2021).
Selain itu, meski beroperasi dengan jam kerja yang panjang mereka mengalami kejatuhan omset hingga 40 persen. Menurutnya, kondisi buruk ekonomi pelaku usaha ultra mikro di masa pandemi ini akibat jatuhnya secara drastis permintaan pasar dan hilangnya pelanggan.
"Bila sebelum pandemi hanya 24,5 persen responden yang keuntungan harian-nya dibawah Rp 100 ribu, maka di masa pandemi angka ini melonjak menjadi 77,1 persen responden. Temuan-temuan ini menunjukkan betapa keras pandemi menghantam usaha ultra mikro," tutur Yusuf.
IDEAS juga menemukan data jika selama pandemi, hambatan terbesar responden terbesar ialah produk yang sering tidak laku dan minimnya pembeli sebesar 45,5 persen.
Kemudian tidak memiliki lokasi usaha sebesar 36,0 persen. Razia atau penertiban sebesar 8,0 persen dan larangan berdagang sebesar 6,0 persen.
"Di masa pandemi, seluruh hambatan usaha terfokus pada jatuhnya permintaan pasar dan hilangnya pelanggan," terangnya.
Advertisement