Liputan6.com, Jakarta - Pada April 2021 mendatang, Bank Indonesia akan merilis Regulatory Sandbox 2.0 yang merupakan pengembangan dari peraturan yang sudah ada. Pada Sandbox ini 2.0 ini akan dilengkapi dengan innovation lab dan industrial Sandbox.
"Saat ini yang ada regulatory Sandbox 1.0, nanti sebentar lagi, bulan April kami akan luncurkan Sandbox 2.0," kata Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran, Bank Indonesia, Fitria Irmi dalam Virtual Seminar LPPI bertema: Dari Regulatory Sandbox ke RegTech, Jakarta, Kamis (4/2).
Baca Juga
Sebagai informasi, Regulatory Sandbox merupakan program uji coba bagi startup FinTech. Program ini dibuat agar para pelaku FinTech dapat menguji sistem dan bisnisnya dengan rentang waktu antara 6 bulan sampai 12 bulan sebelum bisnisnya dioperasikan secara penuh.
Advertisement
Fitria menuturkan pada Sandbox 2.0 yang akan diluncurkan bank sentral ini akan mengalami beberapa konsep baru. Salah satunya dengan menambah development approch. Sebab pada regulatory Sandbox yang pertama kali dibuat pada di tahun 2018 hanya berupa pengaturan saja.
"Konsep di 2020 yang diimplementasikan di sandbox 2.0 ini ditambah dengan development approach," kata Fitria.
Pada Sandbox 2.0 ini akan fokus pada inovasi yang dikembangkan perusahaan fintech. Selain itu, ada juga model bisnis dan pasar pendukung yang menjadi bagian dari implementasi produk.
Sehingga diharapkan bisa meningkatkan ekonomi keuangan digital dan inklusi keuangan. Maka, Sandbox 2.0 ini sudah dilengkapi dengan laboratorium inovasi (innovation lab) dan industrial sandbox.
"Ke depannya sudah akan lengkap dengan innovation lab dan industrial sandbox," kata dia.
Adapun beberapa implementasi Sandbox yang sudah dilakukan antara lain dalam penggunaan kartu debet Bank BRI, Mandiri dan BNI. Tiga bank milik pemerintah tersebut telah bekerja sama dengan Dirjen Pajak, Kementerian Keuangan dalam hal melakukan pungutan pajak dan beberapa program lainnya.
Pada industrial Sandbox ini yang juga sudah masuk dalam QRIS CPM. Penggunaan untuk pembayaran transaksi secara manual dengan menunjukkan QR code dari pemilik merchant.
Selain itu, ada juga tanda tangan digital yang dikembangkan Privi ID. Tanda tangan elektronik ini pun sudah bisa menggantikan tanda tangan basah yang selama ini digunakan.
"Regulatory sandbox ini yang sudah berjalan adalah Privi Id yang buat ttd digital," kata dia mengakhiri.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Journalist Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
BI dan OJK Dinilai Tak Beri Perlindungan Hukum ke Konsumen soal Fintech
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rizal Edy Halim menilai, pengaturan perusahaan pembiayaan berbasis teknologi (fintech) yang dilakukan otoritas masih belum memberikan kepastian hukum bagi konsumen. Baik itu melalui peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Kami memandang ini belum ada respon yang mumpuni dengan kasus yang masuk ke BPKN," kata Rizal pada Forum Diskusi Salemba dengan tema Menimbang Peran OJK dalam Menjamin Regulasi Perlindungan Konsumen Industri Keuangan Era Pandemi Covid-19, Jakarta, Selasa (8/12/2020).
Berbagai pengaduan yang masuk, menunjukkan masih banyak pelanggaran terhadap nasabah. Antara lain berupa pencurian data pribadi, penetapan suku bunga pinjaman yang sangat tinggi sampai dengan penagihan yang intimidatif.
Rizal mengatakan pihaknya telah berupaya untuk menjalin komunikasi dengan OJK. Namun belum ada respon yang cukup membantu bagi konsumen.
Dalam hal ini kata Rizal, OJK hanya mengawasi perusahaan fintech yang telah terdaftar dan memiliki izin usaha. Sementara selebihnya, bukan menjadi wilayah pengawasan OJK.
"OJK hanya mengawasi fintech yang legal, selebihnya itu bukan jadi pengawasan dari OJK," kata Rizal.
Padahal banyak pelanggaran yang terjadi dilakukan oleh perusahaan fintech ilegal. Seharusnya, OJK bisa melaporkan perusahaan fintech ilegal dan melaporkannya kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika.
"Harusnya ini dikerjasamakan dengan Kominfo untuk di-take down fintech ilegal yang beredar setiap hari di masyarakat kita," ungkapnya.
Selain itu, berdasarkan temuan dari Satgas Waspada Investasi OJK juga menunjukkan 50 persen penyelenggara fintech asing illegal ini berasas dari 3 negara besar yang beroperasi di Indonesia. Mereka merupakan perusahaan yang berasal dari China, Amerika Serikat, Singapura dan malaysia.
"Ini yang terjadi di masyarakat Indonesia yang berpotensi merugikan konsumen," kata dia.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Merdeka.comÂ
Advertisement