Liputan6.com, Jakarta - Dalam waktu 4 tahun perkembangan perusahaan financial technology (fintech) tumbuh pesat. Tercermin dari jumlah anggota Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) yang pada 2020 sudah ada 369 dari yang semula pada tahun 2016 hanya 24 perusahaan.
"Jumlah members di Aftech ini tumbuh 80 persen dari di tahun 2016 ini cuma 24 menjadi 369 di tahun 2020. Ini pertumbuhanya pesat, hampir semua perusahaan fintech yang ada di Indonesia terdaftar di Aftech," kata Wakil Ketua Asosiasi FinTech Indonesia (Aftech), Iwan Kurniawan dalam Virtual Seminar LPPI bertema: Dari Regulatory Sandbox ke RegTech, Jakarta, Kamis (4/2).
Dinamika perusahaan fintech di Indonesia pu terus berkembang. Di tahun 2016, hanya ada dua bisnis model yang dijalankan yakni pembayaran digital dan pembiayaan.
Advertisement
Namun, saat ini, terdapat lebih banyak model bisnis fintech. Termasuk digital capital raising, insurtech, wealthtech, serta market provisioning. Para anggota dari Aftech ini pun sudah memiliki lebih dari 23 model bisnis Fintech.
"Dari 3 kategori bisnis fintech, sekarang bisa jadi 23 model bisnis," kata dia.
Perkembangan fintech ini pun sangat memengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional. Hingga November 2020 setidaknya sudah ada 420 juta e-money yang ada di Indonesia dengan total transaksi Rp 19,34 triliun.
Tak hanya itu, tercatat lebih dari 5 juta agen fintech di Indonesia yang menyediakan jasa keuangan. Sampai Desember 2020, akumulasi penyaluran pembiayaan lewat fintech tercatat Rp 155,9 triliun.
Pendanaan tersebut disalurkan kepada 43 ribu akun. Lalu, total transaksi penyelenggara fintech yang terdaftar di Regulatory Sandbox OJK sampai Mei 2020 sebesar Rp 2,1 triliun.
"Trennya dalam 5 tahun ini tinggi, dan dengan pandemi ini makin besar bukannya turun," kata dia.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Soal Atur Fintech, Indonesia Tak Boleh Ikuti Jejak China
Wakil Ketua Asosiasi FinTech Indonesia (Aftech), Iwan Kurniawan mengatakan perusahaan fintech membutuhkan regulasi yang jelas.
Sebab, belajar dari perkembangan perusahaan peer to peer lending di China, tanpa adanya regulasi, hanya akan melahirkan berbagai skandal.
"P2P di Tiongkok sudah ada sejak tahun 2006. Tapi setelah 10 tahun berjalan tanpa regulasi, hasilnya banyak skandal dan ini beresiko," kata Iwan dalam Virtual Seminar LPPI bertema: Dari Regulatory Sandbox ke RegTech, Jakarta, Kamis (4/2).
Otoritas di China baru mengeluarkan regulasi untuk perusahaan fintech setelah terjadi berbagai skandal. Antara lain fraud dan operasional risk seperti pelarian dana, permasalahan investasi yang buruk dan kredit macet.
Selama dua tahun, 2016-2018 Pemerintah China mengeluarkan beberapa seri kebijakan yang mengatur P2P. Hasilnya, lebih dari 80 persen fintech P2P lending terpangkas daro 6.200 platform P2P lending.
"Hasilnya banyak dari platform yang ada mayoritas buat tutup dan tidak beroperasi lagi," kata Iwan.
Kondisi ini pun jadi bahan pelajaran di Indonesia. Perkembangan perusahaan fintech baru mulai berkembang di tahun 2016 lalu. Namun, regulator telah mengantisipasi keberadaan para perusahaan pembiayaan berbasis teknologi.
Terbukti dengan adanya regulasi Fintech di Indonesia yang sudah ada sejak tahun 2016. Antara lain POJK Nomor 70 tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, POJK Nomor 13 tahun 2018 tentang Inovasi Keuangan Digital.
Advertisement