Liputan6.com, Jakarta - Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Eddy Abdurrachman memproyeksikan tingkat produksi crude palm oil (CPO) di 2021 akan mencapai 52,3 juta ton. Selain itu, harga CPO di tahun ini diyakini masih akan mengalami peningkatan.
"Secara garis besar proyeksi pergerakan harga CPO di 2021 masih relatif tinggi, dengan perkiraan produksi 52,3 juta ton," ujarnya dalam webinar bertajuk Peran Kelapa Sawit Terhadap Pembangunan Ekonomi Nasional, Sabtu (6/2).
Baca Juga
Selain itu, permintaan CPO pada 2021 diprediksi akan meningkat menjadi 27,36 juta metrik ton. Di mana 11,23 juta metrik ton di antaranya akan masuk ke konsumsi domestik.
Advertisement
"Perkiraan permintaan CPO 2021 sebesar 27,36 juta metrik ton, dengan konsumsi domestik 11,23 juta metrik ton," terangnya.
Dia bilang, kenaikan tingkat produksi yang tinggi tersebut seiring adanya peningkatan permintaan CPO baik dari dalam maupun luar negeri. Oleh karena itu, pemerintah akan terus mendorong terciptanya produk hilirisasi untuk mengejar nilai tambah.
Antara lain melalui kebijakan pengenaan bea keluar dan pungutan ekspor terhadap setiap eksportasi CPO. Di mana pemberlakuannya tarif uang lebih tinggi untuk produk hulu dibandingkan produk hilir.
"Dengan kebijakan itu komposisi ekpor sawit didominasi produk hilir, di mana ekspor produk turunan CPO telah berada dalam kisaran 58 persen, sementara ekspor CPO 18 persen, lauric 5 persen, dan produk lainnya 15 persen," terangnya.
Selanjutnya dalam rangka hilirisasi produk sawit pemerintah juga menginisiasi program biodiesel. Menurutnya, ini dalam rangka perluasan pasar domestik untuk menyerap kelebihan stok sebagai akibat dari peningkatan produksi sawit dari tahun ke tahun.
"Tak hanya itu, program biodiesel ini juga memberikan manfaat substitusi sebagai impor minyak solar. Sehingga akan menghemat devisa negara," tukasnya.
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com
Ikuti cerita dalam foto ini https://story.merdeka.com/2303605/volume-5
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Indonesia Bakal Lebih Galak Lawan Kampanye Hitam Produk Sawit
Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Eddy Abdurrachman memastikan Indonesia akan lebih galak untuk melawan diskriminasi komoditas sawit di pasar global, terutama Eropa. Salah satunya dengan mengubah strategi dari defensif menjadi ofensif untuk melawan kampanye hitam atau black campaign terhadap produk sawit dalam negeri.
"Selama ini strategi yang kita lakukan dalam rangka black campaign terhadap produk sawit ini selalu sifatnya defensif. Selalu kita sifatnya defensif. Jadi kita akan mengubah strategi, kita attack seperti yang disampaikan oleh bapak presiden (Jokowi)," tegasnya dalam webinar bertajuk Peran Kelapa Sawit Terhadap Pembangunan Ekonomi Nasional, Sabtu (6/2).
Dia bilang, perubahan strategi ini sangat penting untuk memenangkan peperangan terhadap black campaign. Menyusul kampanye hitam yang dilancarkan tersebut dinilai sangat mengganggu upaya peningkatan penjualan dan perluasan pangsa pasar produk sawit Indonesia.
"Sehingga kita kalau hal defensif ini lakukan terus menerus dilakukan ini tidak akan menang," terangnya.
Adapun, upaya ofensif yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia di antaranya dengan turut mempermasalahkan penggunaan minyak nabati dari jenis komoditas lain di pasar global. Baik dari rapesseed, soybean hingga sunflower.
"Karena saat ini selalu yang dipermasalahkan itu sawit, tetapi tidak pernah itu di diskusikan terkait minyak nabati lainnya. Maka, Kita mempermasalahkan juga bagaimana dengan minyak nabati lainnya," tutupnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengajak Malaysia untuk berkomitmen melawan diskriminasi komoditas sawit di pasar global. Hal tersebut disampaikan Jokowi usai melakukan pertemuan bilateral bersama PM Malaysia Tan Sri Muhyiddin di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat (5/1).
"Indonesia akan terus berjuang untuk melawan diskriminasi terhadap sawit dan perjuangan tersebut akan lebih optimal jika dilakukan bersama dan Indonesia mengharapkan komitmen yang sama dengan Malaysia mengenai isu sawit ini," ungkap Jokowi.
Sementara itu, Muhyiddin pun menyambut baik dengan ajakan tersebut. Dia pun mengakui akan bekerja sama dengan Indonesia dalam isu diskriminasi minyak sawit.
"Ini memastikan bagi kita dapat melindungi industri sawit, terutama bagi menyelamatkan berjuta-juta perkebunan-perkebunan kecil yang bergantung hidup sepenuhnya pada industri sawit di Malaysia dan Indonesia," tutur Muhyiddin.
Advertisement
Kalahkan Malaysia, Industri Sawit Indonesia Rajai Dunia Sejak 2006
Sejumlah pihak menilai Malaysia masih menjadi tolak ukur dunia untuk stok global produk minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dan turunannya.
Penilaian itu diberikan lantaran Negeri Jiran dianggap piawai menyajikan data terkait perkembangan produksi sawit, harga maupun stok yang lebih update.
Namun, mantan Menteri Pertanian Bungaran Saragih berpendapat, Indonesia saat ini telah menjadi negara dengan industri sawit nomor satu di dunia. Status ini disebutnya telah didapat Indonesia sejak 2006.
"Bisa dilihat dalam industri sawit kita yang bisa jadi raja dunia. Enggak sadar kita, banyak olok-olok dan kritik, padahal sudah jadi raja sawit dunia. Status terbesar di dunia telah kita peroleh sejak 2006. Sekarang semakin mantap," kata Bungaran dalam forum Jakarta Consulting Group (JCG) CALM, Selasa (2/2/2021).
Guru Besar IPB ini juga mengutarakan, produksi sawit telah menjadi industri strategis nasional. Menurutnya, perekonomian Indonesia akan terguncang bila industri sawit Nusantara terjadi permasalahan.
"Strategis dalam pengertian bila terjadi guncangan di industri sawit, akan punya dampak yang besar pada ekonomi nasional. Bagi sumber devisa, lapangan kerja, dan lain-lain. Tak pernah ada industri kita dalam negeri yang pernah dapat status ini," tuturnya.
Bungaran mengatakan, keberhasilan industri sawit ini terjadi berkat adanya diplomasi ekonomi yang memakai perspektif makro dan jangka panjang.
Menurut pendapat saya, ini bisa jadi contoh untuk model pengembangan industri lain di pertanian seperti karet, gula, dan lain-lain. Bahkan mungkin diplomasi sawit kita bisa berguna untuk model bisnis di luar pertanian dan perkebunan," pungkasnya.Â