Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui PMK yang baru telah memberlakukan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan diperlakukan per 1 Februari 2021 lalu. Kenaikan cukai ini nampaknya tak teralalu berpengaruh terhadap kenaikan harga rokok itu sendiri.
Bahkan ada beberapa ditemukan rokok yang dijual dengan harga murah dan jauh dari harga banderol yang tercantum pada pita cukai.
Baca Juga
Menanggapi fakta tersebut, Project Officer for Tobacco Control Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Lara Rizka menyatakan bahwa kenaikan cukai tidak pengaruhi harga rokok.
Advertisement
“Nah kalau untuk melihat dampaknya ke konsumsi rokok kita perlu lihat juga bagaimana dia mempengaruhi harga rokok di pasaran. Kenyataannya walaupun secara teori tarif cukai naik harga rokok juga naik, tapi secara praktis itu tidak terjadi. Kalau pun ada rokok yang naik, pembeli masih bisa memilih rokok yang lebih murah,” kata Lara dalam keterangannya, Senin (8/2/2021).
Berdasarkan beleid Kemenkeu melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 198 Tahun 2020 menyatakan bahwa Harga Transaksi Pasar dibatasi hingga 85 persen (delapan puluh lima persen) dari Harga Jual Eceran yang tercantum dalam pita cukai hasil tembakau. Sayangnya hingga hari ini di pasaran masih banyak ditemui harga rokok yang tidak berubah, sehingga kenaikan cukai tak banyak berdampak.
Untuk itu Lara mendukung tindakan tegas dilapangan. “Kalau itu fokusnya ke penindakan, jadi yang bisa melakukan adalah bea cukai. Kita hanya bisa bergantung ke petugas bea cukai untuk menindak kalau ada yang melanggar aturan,” ujar Lara.
Lara juga melihat bahwa evaluasi besar saat ini adalah harus bisa melihat pengendalian tembakau sebagai investasi masa depan.
“Jadi kalau kita kontrol konsumsi rokok sekarang, efeknya akan terlihat di masa depan, seperti ada pengurangan penyakit. Jadi misalnya hari ini cukai naik, apakah orang-orang akan berhenti merokok. Kan nggak otomatis, pasti ada pengurangannya bertahap,” jelas Lara.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Jauh dari Harapan
Sebelumnya Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari mengatakan bahwa masalah pengendalian tembakau khususnya prevalensi perokok di Indonesia masih jauh dari harapan.
“Bicara soal pengendalian tembakau, tentu saja kami melihat belum ada kemajuan atau perkembangan yang signifikan. Pemerintah gagal karena sebelumnya dari RPJMN 2015-2019 inginnya perokok anak turun jadi 5,4, tetapi ternyata Riskesdas 2018 menunjukkan perokok anak usia 10-18 tahun meningkat menjadi 9,1 persen atau 3,2 juta orang,” katanya.
Lisda mengatakan kegagalan ini harusnya menjadi evaluasi bagi pemerintah bahwa melindungi anak dan masyarakat dari rokok itu harus dengan peraturan dan regulasi yang kuat untuk mengendalikan konsumsi rokok.
“Baik dari segi keterjangkauan, harga, promosi, itu masih sangat tidak terlindungi. Jadi walaupun setiap tahun katanya cukai rokok naik, tapi pada kenyataannya harga rokok tetap terjangkau. Terbukti kebijakan cukai tidak menaikkan harga rokok kan?” katanya lagi.
Advertisement