Liputan6.com, Jakarta Komisi VII DPR RI bersama Institut Pertanian Bogor menggelar Forum Group Discussion (FGD) bertajuk Revolusi Energi melalui RUU EBT yang diadakan pada Kamis, 4 Februari 2021. Kegiatan tersebut merupakan bagian dari rangkaian Kunjungan Kerja Legislasi Komisi VII DPR RI.
Penyelenggaraan FGD tersebut adalah sebagai langkah persiapan untuk memperkaya dan memperkuat substansi dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) energi baru dan energi terbarukan (EBT) serta sebagai payung hukum baru mendorong pemanfaatan energi bersih.
“Tantangan utama dalam pengembangan EBT adalah political will dan kebijakan, perlunya badan khusus untuk percepatan EBT, mengurai hambatan investasi, infrastruktur dan teknologi, serta dominasi pasar. Untuk mendorong pengembangan EBT pada saat ini maka diperlukan proteksi pasar. Sehingga amat diperlukan payung hukum baru untuk mendorong pemanfaatan EBT yang capaiannya baru 11 persen,” ujar Eddy Soeparno, Ketua Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VII DPR RI, Rabu (10/2/2021).
Advertisement
Menurutnya, RUU EBT sudah masuk dalam Prolegnas tahun 2021. Bahkan pada 25 Januari 2021 telah selesai disusun naskah akademi, audiensi dan dengar pendapat pun telah selesai dilakukan.
Proses konsultasi publik untuk menjaring masukan dari pemangku kepentingan ditargetkan selesai Juni 2021. Kemudian pembicaraan tingkat I selesai pada Agustus 2021.
Adapun beberapa poin penting dalam RUU EBT, antara lain:
- Pelibatan nuklir dalam RUU EBT (telah melalui perdebatan cukup panjang);
- Perizinan badan usaha, kepastian berinvestasi dengan memperkuat prinsip bankability proyek EBT misalnya dari sisi risk sharing dan penentuan harga;
- Harga, insentif, dan pendanaan;
- Penyediaan bahan baku, pengelolaan lingkungan hidup dan keselamatan kerja;
- Penelitian dan pengembangan;
- Pembinaan dan pengawasan serta partisipasi masyarakat.
Komisi VII DPR mengajak semua pihak terutama pemangku kepentingan untuk memberikan masukan sebanyak-banyaknya sehingga RUU EBT yang disusun ini dapat mendekati kesempurnaan dan sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman (tidak seperti UU lain yang tiap tahun membutuhkan revisi), serta menjadi UU yang memfasilitasi sektor EBT.
Kunjungan ke SBRC IPB
Tak hanya berdiskusi, Tim Legislasi Komisi VII DPR juga melakukan kunjungan ke Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) IPB untuk meninjau sarana dan hasil-hasil riset yang telah dilakukan SBRC diantaranya yang terkait dengan bioenergi.
Pada kesempatan tersebut, turut hadir pada pula Komisi VII DPR RI, para anggota komisi seperti Alex Noerdin, Adian Yunus Yusak Napitupulu, Ribka Tjiptaning, Tifatul Sembiring, Andi Yuliani Paris, Dyah Roro Esti Widya Putri, Kardaya Warnika. Juga hadir Rektor IPB, Arif Satria dan Direktur Jenderal EBTKE, Dadan Kusdiana.
Rektor IPB, Prof. Dr. Arif Satria, S.P., M.Si menyebut, naskah akademik adalah hal yang penting sebagai dasar akademik dalam penyusunan regulasi. Karena itu, dalam penyusunan kebijakan harus berbasis pada sains/riset.
Produk kebijakan merupakan produk politik, namun harus juga berbasis scientific, sehingga pasal per pasal harus bisa dipertanggungjawabkan secara akademik (science based policy).
Arif menjelaskan IPB memiliki kompetensi dalam pelaksanaan riset yang mendukung pengembangan EBT.
Saat ini riset berbasis biomassa (yang sesuai kompetensi IPB) telah banyak dilakukan antara lain biomassa yang bebasis sawit, biodiesel, singkong, makro/mikro alga.
Berdasarkan potensi yang ada, banyak alternatif pengembangan yang bisa digali dari biomassa, baik yang terdapat di darat maupun di perairan.
“Roadmap riset untuk mendukung energi terbarukan juga akan terus kami sempurnakan dan terukur sehingga output pada tahun-tahun mendatang sudah dapat dipetakan termasuk kebutuhan biayanya. Selama ini pelaksanaan riset seringkali terputus dan tidak termanfaatkan”, ungkap Arif.
Salah satu riset yang mendukung energi terbarukan adalah riset biomaterial, misalnya pemanfaatan kulit udang sebagai sumber bahan baku pembuatan solar cell.
Pemanfaatan biomaterial yang dilakukan IPB juga telah dimanfaatkan pada industri pertahanan misalnya pemanfaatan kulit udang sebagai material pelapis pesawat agar anti radar dan sebagai bahan rompi anti peluru.
Untuk mendorong pemanfaatan EBT yang lebih masif, perlu juga dukungan kebijakan fiskal dan afirmasi secara politik anggaran.
EBT pada saat ini memang lebih mahal dari fosil, namun dalam jangka panjang dan seiring dengan menipisnya cadangan sumber daya fosil, maka dapat dihasilkan teknologi EBT yang lebih murah dan efisien dengan riset yang baik. (*)
Reporter: Aprilia Wahyu Melati
Advertisement