Sukses

Pengusaha Dukung Pamasangan Label Peringatan Kesehatan di Rokok Elektrik

Label peringatan kesehatan tekstual bagi produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) yang secara sukarela dilakukan oleh pelaku industri sudah tepat.

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) menilai label peringatan kesehatan tekstual bagi produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) yang secara sukarela dilakukan oleh pelaku industri sudah tepat sehingga tidak harus disamakan dengan rokok konvensional. 

Ketua APVI Aryo Andrianto menilai akan sangat tidak adil jika label peringatan kesehatan pada produk HPTL harus disamakan dengan produk rokok konvensional yang saat ini wajib mencantumkan gambar dan teks.

Hal ini lantaran profil risiko yang dikandung oleh produk-produk HPTL berbeda dan jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan rokok konvensional. 

“Bayangkan kalau misalnya label gambar ditaruh seperti rokok yang lehernya sampai bolong. Ini kan aneh. Padahal produk ini nggak ada kaitannya sama itu. Ada penelitian dari Inggris yang menyatakan bahwa produk tembakau alternatif memiliki risiko 95 persen lebih rendah dibandingkan dengan rokok konvensional. Diukurnya harus dari risiko. Jadi, memang harus dipisahkan penentuan labelnya,” papar Aryo dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (15/2/2021).

Aryo pun mendorong pemerintah untuk melakukan riset yang komprehensif terkait dengan industri HPTL guna membuktikan klaim industri terkait profil risiko produk HPTL yang lebih rendah daripada rokok konvensional. Dengan demikian, pemerintah memiliki dasar dan acuan yang tepat dan teruji dalam menentukan kebijakan yang adil terkait peringatan kesehatan bagi produk-produk HPTL. Pemerintah juga berkewajiban untuk mengedukasi hasil penelitian tersebut ke masyarakat.

 “Kami di asosiasi mendorong gimana caranya pemerintah ini membuat riset-riset yang memang benar-benar berkaitan dengan industri vape. Dan ini yang akan menjadi tolak ukur untuk membuat peraturan di kemasan. Hasil riset resmi dari pemerintah itu harus disebarluaskan ke masyarakat biar masyarakat tahu, oh ini memang risikonya segini, yaitu menyebabkan ketergantungan karena mengandung nikotin,” ujarnya. 

Lebih lanjut, Aryo menjelaskan bahwa sejauh ini, pemerintah memang belum membuat aturan khusus terkait pelabelan kemasan produk HPTL. Namun, sejak awal asosiasi sudah mewajibkan seluruh produsen HPTL, khususnya produsen vape, yang berada di bawah naungan APVI untuk memberikan label peringatan kesehatan.

“Kami sadar diri untuk memasangnya meskipun belum ada aturan untuk menaruh label peringatan kesehatan,” tegas Aryo. Adapun peringatan tersebut dibuat dengan konsep tekstual atau tertulis dan memuat tentang fakta kandungan nikotin yang ada pada produk HPTL yang memang berpotensi menimbulkan kecanduan bagi penggunanya.

 Sebelumnya, Ketua Umum Aliansi Pengusaha Penghantar Nikotin Elektronik Indonesia (APPNINDO) Roy Lefrans Wungow, mengatakan pihaknya dan para pelaku usaha industri HPTL ingin pemerintah segera menerbitkan regulasi khusus produk HPTL yang di dalamnya turut mengatur tentang ketentuan peringatan kesehatan.

“Jangan diatur seperti rokok. Secara risiko, produk HPTL memiliki risiko yang lebih rendah daripada rokok,” ujar Roy.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Penurunan Daya Beli Pukul Industri Rokok Elektrik

Produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) terus tumbuh di Tanah Air. Namun sayangnya pertumbuhan produk rokok elektrik tersebut tak diimbangi dengan kenaikan permintaan.

Ketua Aliansi Pengusaha Penghantar Nikotin Elektronik Indonesia (Appnindo) Roy Lefrans Wungow mengatakan pada 2019, investor sejatinya melihat industri HPTL sangat menjanjikan, sehingga banyak produsen baru bermunculan di awal 2020. Itu sebabnya penerimaan cukai sepanjang 2020 separuhnya ada di kuartal pertama yaitu sebesar Rp350 miliar.

Pada Maret 2020, pandemi menghantam seluruh perekonomian yang berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat. Alhasil di kuartal-kuartal berikutnya penerimaan negara dari cukai HPTL rata-rata hanya Rp113 miliar per kuartal.

"Jadi penambahan produk baru itu tidak diimbangi oleh demand pasar, sehingga masih banyak produk yang sudah ditempeli pita cukai belum terjual," ujar Roy seperti dikutip, Selasa (9/2/2021).

Dia menuturkan para produsen HPTL biasanya memesan pita cukai di awal tahun sesuai dengan perkiraan target penjualan selama satu tahun.

"Setelah membeli pita cukai dan ditempeli di produk, produknya belum terjual ke konsumen. Jadi masih menumpuk di toko dan gudang karena daya beli konsumen sedang turun," kata Roy.

Sementara itu, Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) meminta dukungan pemerintah terhadap industri Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) yang mengalami lesunya penjualan produk akibat penurunan daya beli masyarakat selama pandemi Covid-19.

Ketua Umum AVPI, Aryo Andriyanto mengaku khawatir jika pada tahun ini banyak produk HPTL yang tidak terserap pasar. Apalagi, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebutkan bahwa daya beli masyarakat Indonesia pada 2021 masih akan tetap tertekan akibat dampak lanjutan pandemi.

"Dukungan itu bisa bentuknya regulasi atau kemudahan lainnya. Misalnya dari sisi tarif cukai, kami berharap pemerintah dapat mempertahankan besaran tarif cukai yang ada saat ini," ujar Aryo dikutip dari Antara, Senin (8/2).

Dengan adanya dukungan dari pemerintah, lanjut Aryo, diharapkan dapat mendukung pertumbuhan industri yang mayoritas merupakan pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Aryo menuturkan selain mengalami kelesuan penjualan, para produsen HPTL juga terkena denda dari pemesanan cukai yang belum ditebus atau dibeli di Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan.

3 dari 3 halaman

Pita Cukai

Seperti diketahui, setiap pemesanan cukai di awal tahun maka produsen atau pabrik harus mengeksekusi pembelian pita cukai tersebut di tahun itu juga. Jika tidak, maka akan dikenakan denda Rp300 per pita cukai.

Aryo mengatakan, anggota AVPI tahun lalu melakukan pemesanan cukai sekitar 4 juta lembar. Angka itu belum termasuk produsen lain di luar anggota AVPI yang jumlahnya lebih besar.

"Jadi ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah terkena efek pandemi, kami juga kena denda dari pemesanan cukai yang belum dieksekusi pembeliannya," kata Aryo.

Oleh karena itu, lanjutnya, para penjual ritel di awal tahun ini masih banyak yang menggunakan pita cukai tahun 2020.

Penerimaan negara dari cukai HPTL sendiri mengalami kenaikan dalam tiga tahun terakhir. Penerimaan cukai HPTL pada 2018 adalah Rp99 miliar. Lalu naik 331,1 persen menjadi Rp427,01 miliar di 2019. Pada 2020 kembali naik 59,2 persen menjadi Rp689 miliar. DJBC mencatat setidaknya ada 220 pabrik HTPL yang melakukan pemesanan cukai di tahun 2020.