Liputan6.com, Jakarta - Provinsi Jawa Tengah menargetkan bauran kebijakan penggunaan energi baru terbarukan (EBT) di Jawa Tengah pada tahun 2025 mencapai 21,32 persen. Terus meningkat hingga 28,82 persen pada tahun 2050.
"Salah satunya ketercapaian bauran energi di tahun 2025 untuk EBT sebesar 21,32 persen dan tahun 2050 28,82 persen," kata Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah Prasetyo Wibowo dalam Webinar Central Java Solar Day, Jakarta, Selasa (16/2).
Baca Juga
Sampai tahun 2020, realisasi bauran EBT di Jawa Tengah sudah mencapai 11,89 persen. Beberapa potensi EBT yang ada antara lain bersumber dari panas bumi, hidro atau air, bahan bakar nabati, biomassa, biogas, gas rawa dan energi surya.
Advertisement
Secara khusus, potensi energi surya di Jawa Tengah sebesar 2,05 KWH. Saat ini kondisi existing di Jawa Tengah yang sudah terpasang PLTS mencapai 5,6 MW yang berasal dari sektor industri, perkantoran, pondok pesantren, tempat pelelangan ikan dan rumah tangga.
"Kondisi existing di Jawa Tengah, kapasitas terpasang PLTS sebesar 5,6 MW yang berasal dari berbagai sektor," kata dia.
PLTS yang terpasang ini berupa one grade yang disambung dengan jaringan PLN. Semisal PLTS yang dipasang di perkantoran, pesantren dan industri. Selain itu ada juga berupa op grade yang berdiri sendiri seperti PLTS seperti yang sedang dari pompa air di Purworejo.
Sementara itu, untuk mendukung peningkatan penggunaan EBT, Pemprov Jawa Tengah sedang mengkampanyekan konsumsi energi sekunder. Caranya dengan mendorong masyarakat untuk membangu industri konversi energi.
"Guna mendukung target tersebut kami dorong kampanye besar-besaran untuk mengkonsumsi energi sekunder," kata dia.
Selain itu, pihaknya juga mendorong pengembangan industri kendaraan motor berbasis listrik dan industri baterainya. Serta mendorong masyarakat mengganti LPG dengan gas bumi lewat jaringan gas.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
DPR Berencana Bentuk Badan Pelaksana Energi Baru Terbarukan dalam UU EBT
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berwacana akan membentuk badan khusus pengelola EBT untuk mengakselerasi pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Hal itu dibahas dalam perancangan dan penyusunan Undang-Undang (UU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBT) oleh DPR.
Badan tersebut diharapkan bisa bertugas untuk menyusun strategi implementasi pemanfaatan energi terbarukan untuk mencapai target bauran energi berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) serta berkoordinasi dengan lembaga/kementerian dan institusi terkait.
“Indonesia memiliki sumber potensi energi baru terbarukan yang sangat besar, sehingga kita butuh Lembaga khusus yang bisa mempercepat studi dan investasi EBT seperti Badan Pelaksana Energi Baru terbarukan (BPEBT)”, kata Sekretaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR Fathan Subchi, saat membuka Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Pembentukan Badan Pelaksana Energi Baru Terbarukan, Perlukan Dilakukan? di Kompleks Parlemen pada Selasa (2/2).
Turut hadir pula dalam diskusi mingguan yang digelar oleh Fraksi PKB DPR ini, Anggota Komisi VII DPR dari FPKB Ratna Juwita Sari.
Ia mengatakan, kini tren transisi energi dari fosil ke energi terbarukan sedang terjadi mengglobal. Banyak negara di Eropa maupun Amerika telah menginvestasikan miliaran dolar untuk pengembangan energi terbarukan.
Bahkan Tiongkok, India, dan Singapura secara serius mengembangkan energi terbarukan dari tenaga surya maupun tenaga angin.
Transisi energi bersih bukan lagi menjadi suatu pilihan tapi kewajiban untuk melepas ketergantungan dengan energi fosil, mengingat semakin menipisnya cadangan minyak dunia dan sumber energi fosil lainnya.
“Wacana BPEBT pada RUU EBT yang menjadi prolegnas prioritas 2021, akan kami dorong dan kawal terus sehingga RUU ini bisa segera disahkan. Dengan demikian upaya untuk transisi energi baru terbarukan bisa kita realisasikan sehingga mimpi mempunyai sumber energi yang lebih murah, renewable, dan ramah lingkungan bisa terwujud,” ujar Fathan.
Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Suryadharma, mengungkapkan hal yang sama. Dia menilai perlu dibentuk badan khusus untuk mengelola energi terbarukan yang independen, yang bertanggung jawab untuk pencapaian target melalui BPEBT.
Selain itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, Fabby Tumiwa yang juga turut hadir menjadi narasumber pada diskusi ini berpendapat wacana pembentukan BPEBT perlu dikaji lebih dalam karena keberadaannya belum tentu mampu memecahkan persoalan pengembangan EBT di Indonesia.
Menurutnya jika nantinya akan dibentuk badan khusus pengembangan EBT, model organisasi itu harus melihat konteks institusi, regulasi, tata kelola sektor energi dan kelistrikan, serta politik energi dalam negeri saat ini.
“Hambatan utama pengembangan EBT di Indonesia saat ini adalah faktor dari PLN. Sebagai single off-taker atau pembeli tunggal dari EBT, PLN telah terbebani oleh kondisi permintaan dan pasokan yang tidak seimbang, tingginya biaya produksi listrik sementara tarif listrik tidak naik, serta kondisi keuangan perusahaan yang terbebani hutang yang tinggi. Sepanjang persoalan finansial tersebut tidak terselesaikan, penetrasi EBT pada sistem PLN akan terhambat,” ungkap Fabby.
Sebab itu, agar pengembangan EBT berjalan efektif di Indonesia, Rancangan UU EBT lebih diarahkan untuk membentuk ekosistem pengembangan dan pemanfaatan EBT, serta mengatasi berbagai hambatannya.
“Yang perlu diperhatikan di RUU EBT, yaitu aspek institusi, kebijakan, teknis, sosial, dan infrastruktur, kalau kita cover makin banyak aspek ini, maka diharapkan bisa mengakselerasi pengembangan dan pemanfaatan EBT di Indonesia”, jelas Fabby.
Advertisement
Transisi Energi
Direktur Jenderal EBTKE, Dadan Kusdiana menyampaikan jika Kementerian ESDM sangat menyadari pentingnya transisi energi menuju energi bersih.
Namun sumber daya yang ada juga akan terus dimanfaatkan dan diolah sehingga nantinya lebih ramah lingkungan, lebih mempunyai nilai tambah yang dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk masyarakat.
“Jika ditanya, serius gak sih Pemerintah soal EBT? Maka saya jawab, pembentukan Direktorat Jenderal EBTKE di tahun 2010 adalah salah satu bentuk keseriusan Pemerintah, membentuk unit kerja khusus dibawah Kementerian ESDM yang bertugas mengelola EBT, yang kini sudah berjalan selama 10 tahun”, ujar Dadan.
Dadan menjelaskan, capaian bauran EBT di tahun 2020 baru mencapai setengahn dari target 23 persen di 2025.
Strategi selanjutnya yang harus dilakukan adalah mendorong project infrastruktur EBT yang cepat selesai seperti PLTS Terapung di Cirata, yang bebas dari hambatan isu lahan.
Mengingat kondisi PLN yang sekarang mengalami excess supply, tantangan lain adalah memikirkan cara bagaimana pembangkit EBT tetap bisa masuk pada sistem dan jaringan penyediaan listrik oleh PLN.
“Saya sih akan melakukannya secara smart tidak mengganggu PLN, kami ingin memperbaiki PLN dari dua sisi. Pertama membuat PLN seperti taglinenya PKB kalau di sini menjadi partai yang hijau, kalau di PLN menjadi perusahaan produksi energi yang green.
Kedua, lanjut dia, ingin berkontribusi dimana harusnya dengan masuknya EBT ini bukan makin susah balance sheet perusahaan tapi harus makin baik. "Jadi stigma bahwa EBT itu lebih mahal, menurut saya tidak akan bicara lagi hal-hal seperti itu. Saya ingin ini menjadi sama dengan fosil,” pungkas Dadan.