Sukses

Jangan Selalu Kambing Hitamkan Warga saat Terjadi Bencana Banjir

Ada banyak faktor penyebab banjir, antara lain perubahan iklim, pembangunan yang kurang terkendali, zona sungai yang beralih fungsi, hingga perilaku masyarakat.

Liputan6.com, Jakarta - Ada banyak faktor penyebab banjir, termasuk perubahan iklim, indeks tutupan lahan, pembangunan yang kurang terkendali, zona sungai yang beralih fungsi, hingga perilaku masyarakat. Kendati demikian, pemerintah atau pihak-pihak tertentu diimbau untuk tidak mengkambinghitamkan penduduk dalam bencana banjir.

"Jangan penduduk dijadikan kambing hitam, tapi pembangunan yang besar harus tetap terkendali," kata anggota Dewan Sumber Daya Air (SDA) Nasional, Indro Tjahyono, dalam webinar "Kenapa Banjir?" pada Kamis (18/2/2021).

Indro mengatakan, jumlah penduduk dan pembangunan yang pesat telah mengubah tutupan lahan dan merupakan salah satu faktor dalam penanganan banjir. Kendati demikian, menurutnya penduduk tidak bisa serta merta disalahkan mengingat jumlahnya yag akan terus bertambah.

Sebaliknya, pembangunan yang besar harus tetap terkendali. "Sayangnya, pembangunan itu sekarang dinamis, sehingga tidak bisa dicakup oleh peraturan-peraturan yang ada," tuturnya.

Menurutnya, pembangunan infrastruktur tidak disertai sosialisasi tentang keterbatasan dan kemampuan struktur yang ada. Pernyataan daerah bebas banjir pun pada akhirnya memicu pembangunan yang tidak terkendali.

Indro juga menyoroti penanganan banjir yang masih menggunakan pendekatan lama, terlalu bersifat strukturan dan teknis. Penanganan yang dilakukan hanya kepada gejala, belum sampai ke akar masalah.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Zero Delta Q Policy

Persoalan lain dalam penanganan banjir yaitu belum ada sosialisasi dan penyelesaian masalah di daerah dataran banjir. Banjir di dataran banjir menjadi isu utama ketika terjadi banjir besar, dan menghantui masyarakat.

"Sebenarnya penggunaan dataran banjir untuk pemukiman merupakan kekurangan kita dalam menertibkan penggunaan ruang sesuai apa yang diperuntukkan," jelas Indro.

Indro menyoroti kegagalan perwujudan konsep dan peraturan pencegahan banjir Zero Delta Q Policy. Jika ini diterapkan, banjir di perkotaan atau sub-urban tidak terjadi termasuk di Jakarta.

Prinsip Zero Delta Q adalah keharusan setiap bangunan tidak mengakibatkan bertambahnya debit air ke sistem saluran drainase atau sistem aliran sungai.

Selain itu, kata Indro, Indonesia belum memiliki paradigma atau visi jelas dalam menangani banjir. "Artinya masyarakat lah yang melakukan adaptasi dan mitigasi kepada peristiwa-peristiwa seperti banjir, bukan kita hanyut pada rekayasa teknis untuk mengatasi ini," ungkapnya.