Liputan6.com, Jakarta - Selama pandemi Covid-19, Bank Indonesia telah berkali-kali menurunkan suku bunga acuan. Hingga Februari 2021, BI 7-Day Reverse Repo Rate berada di posisi 3,5 persen. Lebih rendah dibandingkan Februari 2020 sebesar 4,75 persen.
Sayangnya, penurunan suku bunga acuan ini tidak selalu direspon positif oleh perbankan. Khususnya pada penurunan suku bunga pembiayaan. Suku bunga pembiayaan dinilai sulit beradaptasi dengan kebijakan bank sentral dibandingkan dengan penurunan suku bunga deposito yang cenderung lebih cepat penyesuaiannya.
"Kalau dilihat secara jangka panjang selalu seperti itu. Kalau BI rate turun, deposito ratenya turun cepat tapi kalau suku bunga kredit masih sangat rigit," kata Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial, Juda Agung dalam Taklimat Media: Kebijakan LTV dan Uang Muka KKB, Jakarta, Senin (22/2).
Advertisement
Sehingga kata Juda, terjadi perbedaan suku bunga kredit perbankan dan suku bunga acuan yang makin lebar. Dia melihat, perbankan dalam hal ini memanfaatkan keadaan untuk mendapatkan keuntungan yang besar dalam kondisi ini.
"Artinya bank  mencoba mendapatkan keuntungan yang lebih seperti saat ini," ungkap dia.
Padahal, penurunan suku bunga acuan yang dilakukan bank sentral untuk mendorong permintaan kredit konsumsi. Maka, lanjut Juda, tidak heran jika permintaan kredit di masyarakat masih rendah.
"Makanya orang masih ragu minta kredit karena suku bunga kredit masih tinggi," kata dia.
Penurunan suku bunga kredit perbankan bisa menjadi salah satu faktor masyarakat belum  mau mengajukan pembiayaan. Terlebih dalam kondisi yang masih tinggi ketidakpastiannya.
"Ini yang sebenarnya kita tidak inginkan," kata dia.
Seharusnya, kata dia, bila Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan penurunan  suku bunga acuan, maka perbankan juga harus merespon dengan baik. Penurunan suku bunga tidak hanya pada deposito atau tabungan saja. Melainkan juga pada suku bunga pembiayaan.
"Karena kalau kita lihat dengan adanya biaya-biaya dalam suku bunga ini, ada biaya overheat cost ini sudah diturunkan juga secara cepat," kata dia.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Bank Harus Responsif
Untuk itu dia berharap agar perbankan bisa lebih responsif dengan kebijakan Bank Indonesia.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad menilai, penurunan suku bunga Bank Indonesia tidak efektif dorong konsumsi. Sebab, penyesuaian bunga yang dilakukan perbankan justru memperlebar margin suku bunga pembiayaan.
 Dia menceritakan, suku bunga acuan pada Maret 2020 tercatat 4,5 persen. Lalu kebijakan suku bunga perbankan untuk konsumsi menjadi 11,47 persen.Menurutnya, dalam kondisi perekonomian yang tidak menentu dan ketidakpastian yang tinggi membuat bank sentral secara bertahap menurunkan suku bunga acuan. Hingga akhirnya di November, suku bunga acuan turun menjadi 3,5 persen.
Sayangnya penurunan suku bunga acuan tersebut tidak direspon dengan cepat oleh perbankan. Dengan suku bunga acuan yang 3,5 persen, suku bunga konsumsi hanya turun menjadi 10,97 persen.
"Responnya (perbankan) konsumsi ini jauh lebih lambat dan selisihnya besar dan makin lambat. Saat suku bunga 4,5 persen gap-nya 6,87 persen dan ketika suku bunga 3,5 persen gap-nya jadi makin tinggi jadi 7,22 persen," tutur Tauhid.
Anisyah Al Faqir
Merdeka.com
Advertisement