Liputan6.com, Jakarta - Banyak pengamat melihat pertumbuhan ekonomi melambat karena kelas menengah atas menahan belanja di tengah pandemi Covid-19. Pihak otoritas pun memberikan berbagai kebijakan relaksasi agar kelas menengah atas terstimulasi untuk berbelanja. Salah satunya adalah kebijakan uang muka 0 persen atau DP 0 persen untuk kredit properti yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI).Â
BI melonggarkan aturan rasio Loan to Value atau Financing to Value (LTV/FTV) untuk kredit dan pembiayaan properti menjadi 100 persen. Namun kebijakan relaksasi LTV ini dinilai kurang efektif. Sebab kelas menengah dinilai sudah memiliki kendaraan dan hunian.
"Kelas menengah ini kan rata-rata sudah punya rumah sendiri. Kalau pun ada pasangan muda ini biasanya mereka masih tinggal sama orang tua dan belum tentu mau beli rumah dalam kondisi seperti ini," kata Chief Economist PT Bank CIMB Niaga Tbk Adrian Panggabean di Jakarta, Kamis (25/2/2021).
Advertisement
Adrian mengatakan tidak sedikit masyarakat yang memiliki tabungan di atas Rp 200 juta. Namun dalam kondisi saat ini kemungkinan kelas menengah membeli properti baru masih rendah.
"Mereka enggak mau alokasikan Rp 200 juta buat beli rumah karena gak pakai LTV. LTV diturunkan ini juga enggak mau beli rumah," kata dia.
Sebaliknya mereka memilih menyimpan uangnya untuk berjaga-jaga. Mereka khawatir menjadi korban PHK dan memilih menginvestasikan uangnya ke instrumen seperti obligasi.
"Punya uang Rp 200 juta dia investasikan di obligasi dulu karena kalau beli rumah malah tambah kewajiban atau untuk berjaga-jaga kalau dipecat," kata dia.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Â
**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Dongkrak Sektor Properti Tak Cukup dengan Kebijakan DP 0 Persen
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) mengeluarkan kebijakan Loan to Value (LTV) dan Financing to Value (FTV) 100 persen untuk kredit properti. Itu berarti, seluruh dana untuk mengambil kredit pemilikan rumah (KPR) ditanggung 100 persen oleh bank, alias tak perlu membayar uang muka atau down payment (DP) 0 persen.
Namun, Anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo menilai, eskalasi penyaluran KPR bukan hanya mempertimbangkan kebijakan fiskal dan moneter saja, tapi juga dapat memberikan stimulus untuk sektor riil.
Â"Salah satu yang mungkin bisa dilihat adalah sesuai dengan tujuan dari UU Cipta Kerja, yakni mengurangi biaya perizinan. Itu yang cukup besar," ujar Eddy kepada Liputan6.com, seperti ditulis Minggu (21/2/2021).
Sebagai contoh, ia menyoroti pengenaan tarif untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 5 persen.
"Salah satu komponen yang masih besar itu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang 5 persen itu. Padahal juga sudah membayar juga PBB (Pajak Bumi dan Bangunan)," ungkapnya.
Secara umum, Eddy melihat DP KPR 0 persen yang mulai berlaku 1 Maret 2021 nanti sebagai kebijakan komprehensif untuk mendorong daya beli rumah. Namun itu masih perlu ditopang oleh keringanan lain di sektor riil.
"Karena kita tahu di sektor properti juga salah satu yang menghambat itu ketika membahas UU Cipta Kerja adalah biaya perizinan cukup besar. Termasuk biaya pembebasan tanah dan seterusnya," tuturnya.
Advertisement