Sukses

Kebijakan Percepatan Biodiesel Picu Deforestasi

Untuk kebijakan biodiesel B50, dibutuhkan lahan seluas 9,2 juta hektare untuk produksi CPO.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah semakin agresif menerapkan kebijakan biodiesel di Indonesia. Semula, target bauran Fatty Acid Methyl Esters (FAME) dalam biodiesel sebesar 20 persen (B20) pada 2025. Kemudian target tersebut diperbaharui menjadi Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 12 Tahun 2015 menjadi B30 yang telah diimplementasikan pada awal 2020 dan akan diberlakukan hingga 2025.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arkian Suryadarma mengatakan, percepatan kebijakan biodiesel akan berdampak pada alokasi lahan. Di mana untuk memproduksi CPO yang banyak tentunya diperlukan lahan yang luas.

“Dengan adanya tambahan kebutuhan untuk biodiesel akan adanya risiko kenaikan potensi deforestasi lebih besar untuk memenuhi kebutuhan CPO untuk produksi biodiesel,” kata Arkian dalam Ngopi Chapter 1: Dilema Kebijakan Biodiesel, Minggu (28/2/2021).

Sehingga dilihat dari defisit CPO jika menjalankan kebijakan  B30, maka pemerintah memerlukan penambahan lahan sebanyak 5,2 juta hektare. Sedangkan untuk kebijakan B50 dibutuhkan lahan seluas 9,2 juta hektare untuk produksi CPO.

Lebih lanjut Arkian menjelaskan, dilihat data dari Kementerian pertanian (Kementan), luas lahan perkebunan sawit Indonesia sekitar 16 juta hektare. Kemudian untuk mempercepat kebijakan biodiesel, maka akan menyebabkan ekspansi lahan yang luas.

“Kalau dilihat penambahannya 9 juta atau nanti D100 kebutuhan tanahnya akan menambah, maka konversi lahannya akan besar-besaran. Bukan hanya dari Kalimantan atau Sumatera yang sudah banyak perkebunan sawit, tetapi ini akan menggeser ke daerah-daerah baru seperti Papua,” ujarnya.

Dengan begitu, Greenpeace Indonesia menilai hutan primer di Papua yang akan digunakan untuk perluasan lahan biodiesel tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan masalah-masalah baru, seperti masalah dengan masyarakat adat di Papua, dan lainnya.

Selain itu yang dikhawatirkan lainnya terkait ketahanan pangan. Menurutnya dengan adanya kenaikan pressure dari biodiesel akan lebih banyak lahan yang tadinya untuk pangan menjadi perkebunan minyak sawit.

“Lahan-lahan yang bagus untuk perkebunan pangan itu di convert jadi perkebunan sawit," pungkasnya.

 

**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Insentif Biodiesel pada 2021 Diperkirakan Masih Tinggi

Sebelumnya, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) memperkirakan dana insentif biodisel masih tinggi pada 2021. Hal ini disebabkan kecenderungan selisih harga antara Crude Palm Oil atau minyak sawit (CPO) dengan Solar.

Direktur Utama BPDPKS, Eddy Abdurrachman, mengatakan bahwa insentif yang tinggi ini merupakan tantangan dari segi ketersediaan dana dalam pelaksanan program biodiesel. Program biodiesel ini sangat bergantung pada pergerakan harga CPO dan solar, sedangkan peran BPDPKS dalam hal ini adalah mendanai selisih Harga Indeks Pasar (HIP) biodiesel dengan solar.

Apabila harga CPO semakin naik, sedangkan di satu sisi solar stagnan, maka ini akan berdampak pada kebutuhan dana BPDPKS yang harus disiapkan untuk mendanai selisih harga.

"Pada 2021 telah diprogramkan bahwa rencana penyaluran biodiesel yang sudah ditetapkan oleh Komite Pengarah BPDPKS dan Keputusan Menteri ESDM adalah sebesar 9,2 juta KL. Diperkirakan dana insentif akan jauh lebih tinggi pada 2021 karena kecenderungan harga CPO tinggi, sedangkan harga solar relatif rendah," jelas Eddy dalam webinar nasional pada Rabu (10/2/2021).

Untuk melanjutkan program energi baru dan terbarukan melalui Mandatori Biodiesel, pemerintah telah menerbitkan kebijaksanaan dalam bentuk penyesuaian tarif pungutan ekspor melalui PMK 191/2021.

"Melalui PMK ini, BPDPKS diharapkan dapat menghimpun dana lebih besar lagi, sehingga dapat mendanai program-program yang diamanatkan sesuai Undang-Undang berdasarkan penerimaan yang kita perolah dari dana ekspor tadi," tutur Eddy.