Sukses

Pemerintah Harus Tingkatkan Porsi Peremajaan Perkebunan Sawit Rakyat

Mestinya pungutan ekspor kelapa sawit yang diambil oleh pemerintah termasuk kepada petani atau kebun rakyat kembali lagi ke petani rakyat.

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Head Center of Food, Energy and Sustainable Indef Abra Talattov menyayangkan porsi peremajaan tanaman kelapa sawit rakyat masih kecil. Angkanya hanya 8,1 persen dari total akumulasi pendapatan 2015 sampai 2019 atas pungutan ekspor yang mencapai Rp 47 triliun.

“Akumulasi pendapatan yang diperoleh BPDBKS itu dari 2015 sampai 2019 adalah Rp 47 triliun, dari total dana yang dihimpun tadi mayoritas 89 persen itu dimanfaatkan untuk insentif biodiesel, yang disayangkan porsi untuk peremajaan sawit-sawit rakyat ini masih cukup kecil 8,1 persen dari total dana yang dihimpun dari 2015-2019,” kata Abra dalam Ngopi Chapter 1: Dilema Kebijakan Biodiesel, Minggu (28/2/2021).

Kenapa disayangkan? karena kalau dilihat kebutuhan perkebunan sawit rakyat untuk mendapatkan peremajaan itu sangat penting. Lantaran produktivitas kebun kelapa sawit petani rakyat itu memang paling kecil dibandingkan perkebunan swasta ataupun perkebunan milik pemerintah.

“Hanya sekitar 3,06 juta ton per hektar jauh dibandingkan produktivitas kebun swasta, maka mestinya pungutan ekspor yang diambil oleh Pemerintah termasuk kepada petani atau kebun rakyat mestinya juga kembali lagi ke petani rakyat melalui dana untuk peremajaan lahan-lahan rakyat,” ujarnya.

Di sisi lain Abra menjelaskan, proyeksi kebutuhan Bahan Bakar Nabati (BBN) Indonesia yang sebagiannya akan dicoba di konversi melalui APBN diesel, sehingga jumlahnya sampai tahun 2025 target kontribusi BBN bisa mencapai 24,5 juta Kl.

“Jadi pemerintah sendiri juga sudah sangat berambisi untuk mengurangi ketergantungan kebutuhan BBM fosil kita dengan penuh, mengkonversi dengan BBN,” ujarnya.

Kemudian, di tengah keinginan Pemerintah dapat mengurangi importasi BBM fosil, selanjutnya bagaimana Pemerintah bisa mengoptimalkan pemanfaatan CPO yang over supply supaya bisa dilakukan hilirisasi melalui biodiesel.

“Tetapi kita memahami isu baru lainnya, bahwa ternyata perkembangan harga CPO dan fosil fuel itu tidak lagi mengalami hubungan linier. Pada akhirnya kita mengalami gap harga, sehingga adanya gap antara harga CPO dengan fosil itu mau tidak mau harus ditutup dengan insentif,” katanya.

Sehingga dengan memberikan insentif untuk produsen tersebut bisa mendorong mereka agar tetap mau mengolah CPO menjadi biodiesel di Indonesia, dan jika dilihat gap nya dalam beberapa tahun terakhir semakin melebar.

“Nah ini kan juga cukup mengkhawatirkan bahwa menjadi tantangan, ketika nanti target untuk produksi biodiesel meningkat, tetapi ada konsekuensi terhadap insentif yang dialokasikan pemerintah juga harus siap tinggi,” pungkasnya.

 

**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Insentif Biodiesel Tembus Rp 28 Triliun di 2020

Sebelumnya, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) telah memberikan insentif biodiesel sebesar Rp 28,01 triliun untuk penyaluran 8,42 juta kilo liter biodesel di 2020. Dari realisasi tersebut, total pajak yang dibayarkan sebesar Rp 2,55 triliun.

"BPDPKS pada 2020 sudah salurkan Rp 28,01 triliun untuk penyaluran biodiesel 8,2 juta kilo liter," kata Direktur Utama BPDPKS, Eddy Abdurachman, dalam Webinar Nasional Strategi Penguatan Kebijakan Pengelolaan Sawit Secara Berkelanjutan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat dalam Rangka Ketahanan Nasional, Jakarta, Rabu (10/2/2021).

Sehingga total realisasi insentif yang diberikan sejak 2015 sebesar Rp 57,72 triliun dengan volume 23,8 juta kilo liter. Sedangkan pajak yang dibayarkan sebesar Rp 5,08 triliun.

Eddy menuturkan, program biodiesel ini sangat tergantung pada harga CPO dan solar. Sebab BPDPKS harus membiayai selisih harga CPO dan solar.

"Ini kan ada berdampak pada kebutuhan dana untuk danai selisih antara biodiesel dan HPI solar," kata dia.

Rencana insentif penyaluran biodiesel tahun ini sebesar 9,2 juta kilo liter. Sehingga kebutuhan dana insentif diperkirakan masih tinggi karena harga CPO tinggi sedangkan solar rendah.

Untuk menjaga keberlanjutan energi baru terbarukan (EBT) ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan yaitu pungutan tarif ekspor melalui PMK 191 tahun 2020. Adanya kebijakan tersebut diharapkan bisa menghimpun dana yang lebih besar untuk mendanai program biodiesel dari pungutan ekspor.

"Harapannya, BPDPKS bisa himpun dana lebih besar lagi sehingga bisa mendanai program biodiesel dari dana ekspor tadi," kata dia.

Namun kebutuhan biodiesel ini perlu dibarengi produksi di perkebunan sebagai feedstock bahan baku. Untuk itu, tambah Eddy perlu dilakukan upaya agar produksi naik per hektarnya.