Sukses

Pengusaha Minta Pemerintah Tinjau Ulang Hak Paten Bubble Wrap

Hak paten berpotensi mematikan industri plastik kelas menengah dan kecil.

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik (Inaplas) menerima keluhan dari para pelaku usaha produsen bubble wrap (pembungkus bergelembung berbahan plastik) yang menyampaikan adanya praktik produksi dan perdagangan yang tidak sesuai nilai-nilai etika bisnis dan tidak berkeadilan.

Hal ini dikarenakan adanya aduan bahwa salah satu produsen bubble wrap yang telah menerima hak paten untuk memproduksi bubble wrap berwarna, melakukan tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai hambatan serius terhadap pelaku usaha lainnya.

“Kami menerima pengaduan bahwa ada satu perusahaan yang telah menerima paten untuk memproduksi bubble wrap berwarna telah melakukan pemaksaan sepihak. Pada dasarnya, kami dari asosiasi melihat bahwa pemberian hak paten ini perlu ditinjau kembali oleh pemerintah, karena tidak mengandung invensi, teknologi atau proses produksi baru dalam industri plastik," ujar Ketua Umum Inaplas dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (8/3/2021).

Paten ini berpotensi mematikan industri plastik kelas menengah dan kecil yang sudah lebih dulu berproduksi serta akan menyebabkan iklim usaha yang tidak kondusif," lanjut dia.

Penggunaan bubble wrap ini menjadi kebutuhan utama pada transaksi belanja online. Pembungkus ini berguna untuk melindungi barang yang rentan pecah agar tidak mudah retak dan menutup kemasan sehingga tidak tembus pandang. Bubble wrap ini juga sepenuhya dapat didaur ulang jika sampahnya terpisah dan bersih.

Industri pembuat bubble wrap di tanah air telah berkembang sejak 20 tahun yang lalu. Saat itu dimulai oleh beberapa pelaku usaha menengah, yang kemudian berkembang menjadi 16 pelaku usaha baik di Jawa maupun luar Jawa. Awalnya bubble wrap diproduksi dengan warna bening, namun semejak tahun 2003, pelaku usaha mulai memenuhi permintaan pasar dengan menambahkan warna.

“Kami berharap agar prinsip keadilan dalam berusaha menjadi landasan utama bagi para pelaku usaha. Industri bubble wrap ini termasuk yang berkembang pesat dan mampu menyerap banyak tenaga kerja, jangan sampai harus mati karena ada pemberian paten pada satu pihak yang akan memonopoli,” tambah Suhat Miyarso.

Inaplas juga menerima laporan bahwa pelaku usaha yang keberatan atas hak paten ini telah mengajukan banding melalui Pengadilan Niaga sesuai perundang-undangan yang berlaku dengan argumen yang menitikberatkan bahwa sebenarnya tidak ada unsur kebaruan dalam produksi bubble wrap berwarna, karena sejatinya telah dilakukan oleh para pelaku usaha semenjak 20 tahun yang lalu saat industri ini mulai berproduksi di Indonesia dimana saat itu perusahaan penerima paten belum berdiri. 

 

**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Pelaku Industri Nilai Larangan Kantong Plastik Saat Pandemi Tak Tepat

Asosiasi Produsen Olefin, Aromatik, dan Plastik (Inaplas) menyayangkan penerapan Peraturan Gubernur DKI Jakarta nomor 142 tahun 2019 tentang pelarangan kantong plastik yang berlaku di DKI Jakarta mulai 1 Juli 2020 ini, diterapkan dalam kondisi pandemi covid-19.

“Banyak asosiasi yang menyayangkan implementasi Pergub DKI Jakarta nomor 142 tahun 2019 dipaksakan berjalan dalam kondisi pendemi covid-19. Kami berharap Pak Anies dapat menunda pelaksanaan pergub pelarangan penggunaan kantong plastik dintunda sampai pandemi selesai dan ekonomi kembali normal,” kata Direktur Bidang Olefin dan Aromatik Inaplas, Edi Rivai kepada Liputan6.com, Kamis (2/7/2020).

Menurutnya plastik adalah bahan baku yang didesain untuk digunakan ulang, murah dan memiliki nilai ekonomi, serta higienis tidak mudah tembus virus covid-19.

Kebijakan larangan dikatakan akan berdampak domino sampai menurunnya pembelian dan belanja masyarakat. Berlanjut ke kondisi ekonomi masyarakat kecil, UMKM, peritel dan pusat belanja.

Dikatakan sebenarnya keberadaan pandemi membuat konsumsi plastik di sektor hilir sudah turun sekitar 30-40 persen. Hal ini terkait kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Penyebab lain, penurunan konsumsi masyarakat dan tidak beroperasinya sejumlah pertokoan tutup karena beberapa sektor usaha terpaksa ditutup. Meskipun diakui masih ada beberapa sektor yang bisa buka dan menggunakan kantong plastik.

“Karena sesungguhnya bukan masalah materialnya. Sebenarnya materialnya bagus, cuma pengelolaan yang memang perlu diperbaiki perlu ditingkatkan. Jadi bukan pelarangan justru jadi kita harapkan adalah melakukan suksesi terhadap kemasan khususnya mengenai kantong plastik ini sehingga pada akhirnya kantong plastik itu dapat digunakan ulang dipakai ulang sehingga tidak mengganggu lingkungan,” ungkap dia. 

3 dari 3 halaman

Terbitnya Aturan

Edi mengatakan, sebenarnya aturan terbit pada saat Jakarta terlanda banjir pada akhir 2019. Aturan sempat mangkrak selama tiga tahun. Namun kini baru mulai dijalankan.

Dia berharap ke depan Pemprov DKI Jakarta, bisa mengajak pengusaha duduk bersama, membahas terkait peraturan tersebut dan tidak memutuskan kebijakan secara sepihak.

Ini karena Inaplas sebagai produsen justru lebih tahu teknologi yang tepat untuk bisa digunakan dalam mengelola sampah dari kantong plastik itu.

“Kita sudah melakukan pendekatan lebih ke sana tapi mereka tidak mendengarkan masukan apa-apa, mestinya mendapatkan masukan dari kita, kan kita yang membuatnya jadi tahu persis teknologi yang harusnya mereka terapkan untuk mengelola,  seharusnya kita diajak juga duduk barang Jangan hanya satu sisi dari LSM saja,”  pungkasnya.