Liputan6.com, Jakarta - Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Riswinandi mengatakan mayoritas penduduk Indonesia yang memiliki Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) membutuhkan bantuan modal selama pandemi Covid-19.
"7 dari 10 pemilik usaha dari sektor Usaha Menengah Kecil Mikro (UMKM) menyatakan dukungan permodalan adalah bantuan yang paling mereka butuhkan selama pandemi," ujar Riswinandi dalam diskusi virtual, Jakarta, Selasa (9/3/2021).
Baca Juga
Riswinandi mengatakan, kesulitan memperoleh modal ini menjadi peluang bagi industri jasa keuangan berbasis tehnologi atau fintech. Dengan memanfaatkan momentum tersebut, fintech ikut serta memberi kontribusi bagi ekonomi Indonesia.
Advertisement
"Industri fintech lending masih memiliki banyak potensi yang bisa dioptimalkan sehingga dapat memberikan kontribusi lebih bagi ekonomi bangsa," jelasnya.
Statistik industri ini menunjukkan bahwa pinjaman melalui platform fintech lending masih didominasi oleh pinjaman konsumtif. Misalnya, pada Desember 2020, jumlah pencairan baru sebesar kredit produktif sebesar Rp28,24 triliun atau hanya 37,96 persen saja total pinjaman baru yang disalurkan melalui fintech lending platform Rp74,41 triliun.
"Namun, kami sangat menghargai upaya yang telah dilakukan oleh industri untuk meningkatkan penyaluran kredit produktif, terutama mengingat statistik tahun lalu dari penyaluran kredit produktif cukup signifikan perbaikan dari tahun sebelumnya," jelasnya.
Pada tahun sebelumnya yaitu 2019, OJK mencatat bahwa jumlah pencairan baru sebesar kredit produktif sebesar Rp18,36 triliun atau 31,21 persen dari total pinjaman baru yang disalurkan sebesar Rp58,83 triliun.
**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pandemi Belum Usai, OJK Minta Perbankan Lebih Gesit Berinovasi
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta pengusaha bank dan sektor perbankan agar tidak hanya diam sembari menunggu kapan pandemi Covid-19 berakhir, dan terus bergerak untuk menjemput era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity).
Kepala Eksekutif Pengawasan Perbankan OJK, Heru Kristiyana, coba melihat dinamika dari kondisi saat ini, utamanya akibat pandemi Covid-19, bahwa semua sektor kini bergerak dengan sangat cepat.
"Sudah terjadi juga safety behaviour dari nasabah kita yang biasanya menggunakan transaksi offline jadi online. Ini jadi hal yang sangat penting untuk dicermati para bankir," kata Heru dalam sesi webinar bersama Infobank, Kamis (4/3/2021).
Menurut dia, bankir tentunya tidak bisa membiarkan sektor usahanya mengalir begitu saja mengikuti perkembangan zaman. Khususnya dalam menyikapi golongan milenial, yang saat ini lebih mengutamakan transaksi online ketimbang offline.
"Milenial kita kan kita tahu sudah tidak mau lagi melakukan transaksi secara offline, dimana mereka datang ke ATM atau kantor bank sekadar hanya untuk melakukan transaksi atau ambil uang. Mereka tentunya takut kalau berkerumun, nanti tertular covid," ujarnya.
"Situasi seperti itu ditambah lagi dengan pandemi Covid seperti ini yang intensitasnya juga naik tajam, meski sekarang ada penurunan, itu tentunya menimbulkan volatility dan uncertainty. Saya meyakini bahwa semua harus kita respon," imbuh Heru.
Heru lantas mendorong para bankir dan pemilik bank untuk mau berubah dan bisa memutuskan secara tepat harus investasikan ongkos operasional perbankan ke bagian mana.
"Karena dengan menghadapi situasi seperti itu, shifting behaviour nasabah, itu pasti harus ada investasi ke teknologi. Ada investasi ke SDM yang sangat mengerti behaviour tadi itu, dan tentunya talent-talent yang berkualitas," tuturnya.
Para pemilik bank juga disebutnya harus mulai memikirkan pengembangan produk dan layanan. Heru mewanti-wanti bank, jika mereka tak mau berubah ke layanan digital guna menghadapi berbagai ketidakpastian dan volatilitas, tentunya nasabah akan lari.
Namun, bank juga diminta untuk tetap memperhatikan populasi nasabahnya. Dengan begitu, bankir bisa memutuskan apakah mereka akan fokus berubah kulitnya di bank digital murni, atau dapat melayani milenial beserta senior milenial secara bersamaan.
"Saya pinjam istilah itu dari Dirut BCA, pak Jahja (Setiaatmadja). Di BCA itu ada bagian dari nasabah yang tetap ingin, walaupun sudah ke digital tapi ingin transaksi layanan lama tetap ada dengan baik," ucap Heru.
Selain itu, pengelola bank juga diminta untuk tidak berpaling dari perusahaan financial technology (fintech), dan menganggap mereka lebih sebagai teman bukan musuh.
"Ini memang kita lihat volatility, uncertainty, complexity dan ambiguity ini memerlukan suatu perubahan cara kita mengelola bank. Itu sudah pasti sangat pasti," pungkas Heru.Â
Â
Advertisement