Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana menerapkan pajak untuk ekspor nikel dan feronikel. Pengenakan pajak untuk ekspor nikel ini tidak hanya untuk meningkatkan pendapatan tetapi juga untuk mendukung hilirisasi produk tambang di Indonesia.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, rencana pajak ekspor nikel dan feronikel yang berkembang saat ini tidak hanya melulu kebijakan fiskal. Namun ada misi yang lebih besar yaitu mendukung hilirisasi sumber daya alam di Indonesia.
"Untuk rencana penerapan pajak ekspor nikel dan feronikel kita tetap mendukung kebijakan secara keseluruhan dari pemerintah untuk meningkatkan hilirisasi," ungkap Sri Mulyani seperti dikutip dari Belasting.id, Jumat (4/11/2022).
Advertisement
Rencana penerapan pajak ekspor nikel dan feronikel membutuhkan koordinasi dan pembahasan lintas kementerian/lembaga (K/L). Proses yang berlangsung saat ini masih dalam tahap pembahasan, diskusi dan analisis penerapan pajak ekspor untuk nikel dan feronikel.
Kata Sri Mulyani, rencana penerapan pajak ekspor atas hasil sumber daya alam memiliki cakupan yang lebih luas untuk memperkuat struktur perekonomian nasional.
Kebijakan hilirisasi pada beberapa komoditas SDA Indonesia terbukti mampu memperkuat ekonomi nasional, seperti memperkuat neraca perdagangan.
Hilirisasi, lanjutnya, meningkatkan nilai tambah ekspor dengan pengolahan produk turunan di dalam negeri. Hal tersebut menjadi kebijakan strategis dalam menghadapi tekanan ekonomi yang berasal dari faktor ekstenal.
"Langkah hilirisasi ini terbukti menimbulkan daya tahan terhadap neraca pembayaran dan trade balance kita yang membaik karena ekspor kita tidak hanya dari sisi bahan dan barang mentah. Namun kita sudah mulai mengekspor barang-barang yang merupakan produk hilirasasi," tambah Sri Mulyani.
Punya Cadangan 21 Juta MT, Nikel jadi Solusi Indonesia Lolos dari Resesi Global
Industri nikel disebut sebagai penopang ekonomi Indonesia di tengah ancaman resesi global tahun 2023. Hal ini tak lepas dari kontribusi nikel yang saat ini dibutuhkan untuk bahan baku baterai kendaraan listrik dan juga bahan baku stainless steel dan turunannya.
Indonesia merupakan negara penghasil nikel terbesar di dunia, dengan produksi nikel pada tahun 2021 mencapai angka 1 juta metrik ton atau 37,04 persen di dunia.
Cadangan nikel di Indonesia diperkirakan mencapai 21 juta metrik ton. Maluku Utara adalah salah satu basis tambang nikel di Indonesia yang potensinya terhadap ekonomi Indonesia cukup signifikan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, surplus neraca perdagangan Maluku Utara Januari hingga Agustus 2022 sebesar 3.212,88 juta dolar.
Surplus perdagangan ini dominasi oleh komoditi mineral besi, baja, dan nikel yang tercatat tumbuh 10,34 persen. Dengan potensinya yang besar, maka industri nikel di Indonesia dinilai perlu dikembangkan secara komprehensif.
Salah satu proses yang dapat dilakukan untuk memberikan nilai tambah, khususnya bagi bijih nikel berkadar rendah, adalah dengan proses hidrometalurgi. Proses ini dapat mengolah bijih nikel dengan kadar rendah menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik.
Praktisi Industri Nikel Steven Brown menyatakan, tanpa baterai, maka transisi energi tidak akan terjadi. Teknologi baterai menurutnya berkembang dengan cepat, baik menggunakan nikel atau bukan.
Advertisement
High Energy
Walaupun nikel bisa digantikan dengan komoditas mineral lain, tetapi hanya nikel yang mampu membuat baterai menjadi optimum.
"Yang jelas nikel ini optimum. Baterai yang optimum punya nikel karena dia high energy, namun downside high cost," kata Steven dikutip Kamis (20/10/2022).
Maka dari itu, sebutnya, dengan kelebihan yang dimiliki nikel, transisi energi akan bergantung pada nikel. Tanpa nikel, maka transisi energi berpotensi tertunda.
"Jadi bisa lihat transisi energi tergantung pada nikel, tanpa ada nikel, kita mungkin akan ada transisi ke EBT, tapi akan delay," katanya.