Sukses

Indonesia Jadi Negara Maju, Harga Rokok Harus Mahal

Potensi anak muda menjadi perokok saat dewasa dipengaruhi dari kelompok sosial (lingkungan) dan harga.

Liputan6.com, Jakarta - Ikatan Senat Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia (ISMKMI) Jawa Barat menyoroti tentang lemahnya pengendalian konsumsi rokok di Indonesia lewat diskusi virtual Sharing Session Bagaimana Pengendalian Tembakau di Indonesia pada Jumat (5/3/2021). Namun di lapangan menunjukkan bahwa prevalensi perokok di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain.

Youth Tobacco Control Advocate Komnas Pengendalian Tembakau Manik Marganamahendra mengatakan bahwa selama 15 tahun terakhir harga rokok makin terjangkau, termasuk juga prevalensi merokok pada anak muda.

“Masalahnya kalau anak muda sudah jadi konsumen, ke depannya juga berpotensi menjadi perokok,” ujarnya kepada waratwan, Jumat (12/3/2021).

Manik mengatakan potensi anak muda menjadi perokok saat dewasa dipengaruhi dari kelompok sosial (lingkungan) dan harga.

“Dari teman satu gengnya punya dampak, tapi di sisi lain juga ada harga yang mempengaruhi askes rokok,” katanya.

Padahal, mayoritas negara berkembang memiliki tingkat keterjangkauan yang tinggi terhadap rokok. Artinya, makin maju negaranya, harga rokok harusnya juga makin mahal. Hal ini yang juga harus dilakukan Indonesia.

“Kalau kita bandingkan, ternyata keterjangkauan harga rokok kita dengan negara lain, kita masih di angka minus 50 persen. Artinya sangat terjangkau di masyarakat,” kata Manik.

Tidak heran, katanya, kalau prevalensi perokok anak naik dari 7,2 persen menjadi 9,1 persen tahun ini. Hal ini menunjukkan pemerintah gagal mencapai target penurunan prevalensi perokok anak sesuai RPJMN 2014-2019 sebelumnya.

 

**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Harga Lebih Rendah dari Pasaran

Manik menambahkan, keterjangkauan harga rokok ini dinilai juga dipicu oleh perilaku bisnis perusahaan yang kurang baik, dimana harganya dijual lebih rendah di pasaran, sehingga mayarakat masih bisa mengakses.

Praktik penjualan rokok dengan harga rendah ini, menurut peneliti dari Center of Human dan Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Adi Musharianto, dimungkinkan oleh adanya ketentuan pengawasan yang kurang optimal di bea cukai.

“Pelanggaran menjual lebih rendah dari harga banderol ini disebabkan dari aturan yang memungkinkan menjual di bawah 85 persen dari harga banderol. Ada Peraturan Dirjen Bea dan Cukai No.37 Tahun 2017, PMK Nomor 146/2017, Perdirjen Bea dan Cukai Nomor 25/2018. Aturan ini lah yg memicu rokok dijual di bawah harga banderol, bahkan di bawah 85 persen,” katanya.

Padahal, menurut Adi, penetapan minimum harga 85 persen awalnya dibuat dengan tujuan baik untuk pengendalian harga rokok, namun pada kebijakan teknisnya justru tidak optimal implementasinya.

“Harga Tranksasi Pasar (HTP) minimal 85 persen adalah niat baik pemerintah untuk mengendalikan harga rokok yang dijual terlalu rendah atau lebih rendah dari harga banderol cukai di beberapa daerah,” ujar peneliti CHED ITB Ahmad Dahlan itu.

Kondisi inilah yang membuat harga rokok masih terjangkau di pasaran. “Dampaknya, prevalensi perokok sulit turun lebih tajam,” ujarnya.