Sukses

Jika IHSG Tembus 7.000, Unrealized Loss BPJS Ketenagakerjaan Bisa Jadi Unrealized Gain

Kerugian portofolio saham BPJS Ketenagakerjaan masih di atas kertas yang wajar sebagai risiko investasi, dan bisa kembali untung sejalan dengan membaiknya ekonomi.

Liputan6.com, Jakarta - Profesor Keuangan Investasi IPMI International Business School Roy Sembel ikut menanggapi unrealized loss investasi saham yang dialami oleh BPJS Ketenagakerjaan atau BPJamsostek.

Kerugian ini tidak sama dengan kerugian dalam kasus Jiwasraya yang menghebohkan beberapa waktu sebelumnya. Hasil kajian menunjukkan, proses investasi portofolio BPJS Ketenagakerjaan sudah prudent dan sesuai kaidah-kaidah investasi.

"Alokasi aset telah memperhatikan aspek pengelolaan risiko yang relatif baik. Secara garis besar, investasi dimulai dengan strategi mengalokasikan dana investasi ke dalam beberapa kelas aset sesuai tujuan investasi, saham, reksadana, deposito, obligasi dan bahkan properti serta penyertaan langsung," bebernya dalam keterangan tertulis, Jumat (12/3/2021).

Lanjut Sembel, dalam masing-masing kelas asset, dilakukan strategi pemilihan sekuritas (securities selection) atau manager investasi yang cocok dengan tujuan investasi. Pemilihan manager investasi juga relatif ketat, syaratnya harus mempunyai dana kelolaan minimal Rp 1,5 triliun. Jika data portofolio sahamnya diinvestasikan pada saham-saham LQ-45, artinya isi portfolio sahamnya dominan terdiri dari saham-saham berkapitalisasi pasar besar dan relatif likuid.

Penurunan dan kenaikan harga saham sangat tergantung pada perkembangan pasar modal di Indonesia.

"Kerugian yang terjadi (yang masih belum direalisasikan atau disebut unrealized loss) masih sejalan dengan perkembangan pasar saham Indonesia hal itu tercermin dari pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terdampak krisis pandemi dan resesi ekonomi," tambah dia.

Unrealized loss bisa naik turun sesuai dengan naik turunnya IHSG. Misalnya, paada saat IHSG di level 5.979 (31 Desember 2020) unrealized loss yang terjadi mencapai Rp 22,308 triliun, tapi ketika IHSG di level 6.429 (20 Januari 2021) lalu, unrealized loss menurun menjadi Rp14,417 triliun atau 2,91 persen dari total portofolio Rp 495 triliun, yang mayoritas disebabkan penurunan kinerja emiten BUMN. Naik turun akan terjadi sesuai dengan pergerakan harga saham.

"Bukan tak mungkin, ketika IHSG di level 7.000, bukan unrealized loss, tapi bisa berbalik arah menjadi unrealized gain. Hal ini bisa dilihat naik turunnya potensial loss itu sangat tergantung dari pergerakan IHSG. Ada banyak faktor yang menyebabkan naik turunnya harga saham, namun yang paling penting sahamnya likuid dan mempunyai kapitalisasi pasar yang besar dan hal itu yang menjadi portofolio saham BPJS Ketenagakerjaan," kata Sembel.

Berbeda dengan Jiwasraya. Portofolio saham-saham Jiwasraya termasuk golongan saham kualitas rendah, tidak likuid dan mempunyai kaplitalisasi pasar yang kecil. Banyak orang menyebut saham-saham 'gorengan'.

"Jelas hal ini berbeda, meski tampak sama. Banyak perbedaan riil antara kerugian Jiwasraya yang sudah realized loss dengan unrealized loss seperti di BPJS Ketenagakerjaan Hal yang mendasar terjadi, seperti persyaratan pemilihan manager investasi. Di BPJS Ketenagakerjaan sangat ketat, sementara di Jiwasraya longgar," imbuh dia.

Dari sisi alokasi aset, misalnya, porsi saham dan reksadana di Jiwasraya lebih dari 91 persen (31 Desember 2019). Sementara di BPJS Ketenagakerjaan pada 31 Desember 2020 lalu hanya 23,56 persen untuk porsi saham dan reksadana.

"Jadi, kerugian portofolio saham BPJS Ketenagakerjaan masih di atas kertas yang wajar sebagai risiko investasi, dan bisa kembali untung sejalan dengan membaiknya ekonomi setelah Pandemi Covid-19. Unrealized loss ini tidak logis dikategorikan sebagai kerugian hasil manipulasi yang berpotensi pidana. Lebih pada risiko bisnis yang sudah dikalkulasi dengan baik," tutupnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

APRDI: Kasus BPJS Ketenagakerjaan dengan Jiwasraya dan Asabri Sangat Berbeda

Hingga kini, penyidikan yang dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung) RI terhadap BPJS Ketenagakerjaan (BPJAMSOSTEK) belum ada kejelasan hukum.

Tak pelak, hal ini mengundang banyak spekulasi publik. Kini giliran Direktur Eksekutif Dewan Asosiasi Pelaku Reksa Dana & Investasi Indonesia (APRDI), Mauldy Rauf Makmur angkat bicara. Dengan tegas dirinya mengatakan, kasus BPJS Ketenagakerjaan dengan Jiwasraya dan Asabri sangat berbeda. Jiwasraya dan Asabri melanggar dalam pengelolaan reksadana.

Tak hanya itu, lanjut Mauldy, saham (Jiwasraya dan Asabri red) juga diindikasikan diinvestasikan pada saham yang berfundamental tidak baik, sehingga pada saat ingin mencairkan sahamnya tidak bisa diuangkan atau dijual.

"Kalau BPJS Ketenagakerjaan sangat berbeda, karena BPJS Ketenagakerjaan tidak ada masalah dengan guaranteed return, tidak ada masalah juga dengan pelanggaran pengelolaan reksadana,” tegas Mauldy.

“Yang dimasalahkan dalam kasus BPJS Ketenagakerjaan itu Unrealized Loss (UL). Di pasar modal itu selalu ada Unrealized Loss. Saya tahu betul BPJS Ketenagakerjaan punya SOP yang baik dalam memilih Manager Investasi (MI) dan dalam memilih reksadana. SOP mereka jelas,” terang Mauldy. 

Contoh, masih kata dia, MI yang ingin menjadi mitra BPJS Ketenagakerjaan tidak sembarangan, dari Asset Under Management (AUM)- nya saja sudah jelas dipilih.

Lalu produk reksadana mereka dipantau terus, mereka punya alat ukur atau rating sendiri, jika reksadananya kinerjanya buruk, secara periodik MI-nya bisa dipanggil dan dievaluasi.

Mauldy menyimpulkan, BPJS Ketenagakerjaan benar-benar prudent dalam melakukan investasi.

"Semua di pasar modal pasti kena UL, ketika kinerja indeks turun ya pasti kena UL, tapi kalau kinerja indeks naik lagi maka saham juga akan naik lagi. Kalau UL dipermasalahkan, ya tidak ada yang berinvestasi di pasar modal," tutupnya.