Sukses

Studi: Berpenghasilan Tinggi Ternyata Belum Tentu Bikin Orang Jadi Lebih Bersyukur

Para peneliti menemukan bahwa memiliki lebih banyak uang tidak selalu membuat Anda lebih bersyukur dan berbelas kasih.

Liputan6.com, Jakarta Dalam sebuah penelitian terbaru dari American Psychological Association (APA) yang diterbitkan minggu lalu, para peneliti menemukan bahwa memiliki lebih banyak uang tidak selalu membuat Anda menjadi orang yang lebih bersyukur dan berbelas kasih.

Para peneliti menganalisis data dari lebih dari 1,6 juta orang di 162 negara dan menemukan bahwa mereka yang berpenghasilan tinggi cenderung merasa lebih percaya diri dan bangga, daripada mereka yang berpenghasilan rendah, tetapi belum tentu lebih penyayang atau penuh kasih.

Dikutip dari CNBC, Selasa (16/3/2021), menyebutkan pula bahwa mereka yang berpenghasilan tinggi juga tidak begitu takut dan lebih bertekad dibandingkan mereka yang berpenghasilan rendah. Namun, kategori tersebut juga menunjukkan lebih banyak contoh kecemasan, ketakutan dan rasa malu.

“Intinya, kami menemukan bukti yang dapat direplikasi bahwa pendapatan berkorelasi positif dengan emosi seperti kesombongan dan kepercayaan diri dan berkorelasi negatif dengan emosi seperti kesedihan dan kekhawatiran,” ujar Eddie MW Tong, Ph.D, Profesor Psikologi di National University of Singapore yang memimpin studi tersebut.

Namun sebaliknya, mereka tidak dapat menemukan bukti bahwa pemilik pendapatan yang lebih tinggi dapat diandalkan untuk memiliki korelasi lebih erat dengan emosi, seperti rasa syukur dan kasih sayang.

Studi tersebut juga tidak menemukan perbedaan signifikan terkait relasi antara pendapatan dengan perasaan yang terbentuk di antara negara berpenghasilan tinggi dan negara berkembang.

Saksikan Video Ini

2 dari 2 halaman

Tidak berkontribusi membangun masyarakat yang lebih peduli dan toleran

“Memiliki lebih banyak uang tidak selalu membuat seseorang lebih berbelas kasih dan bersyukur dan kekayaan yang lebih besar mungkin tidak berkontribusi untuk membangun masyarakat yang lebih peduli dan toleran,” jelas Tong.

Namun, studi tersebut mencatat bahwa temuannya bersifat korelasional yang artinya para peneliti mengukur dua variabel tanpa mengontrol salah satu dari mereka. Sehingga, penelitian tidak dapat membuktikan apakah pendapatan yang lebih tinggi menyebabkan temuan tersebut atau jika hanya ada hubungan antara kedua variabel tersebut.

Tong menambahkan bahwa meskipun terdapat kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan individu berpenghasilan rendah dapat berkontribusi pada kesejahteraan emosional mereka secara keseluruhan, kebijakan tersebut mungkin tidak berkontribusi pada kehidupan komunitas yang lebih baik.

Temuan serupa juga menjadi hasil dari studi di tahun 2019 yang diterbitkan dalam jurnal Applied Research in Quality of Life, dimana para peneliti menemukan bahwa berfokus pada gagasan bahwa kekayaan menandakan kesuksesan daripada keyakinan bahwa kekayaan adalah indikator kehidupan yang bahagia dapat meningkatkan kepuasan orang secara keseluruhan.

Terlebih lagi, sebuah studi dari Universitas Princeton pada 2010 menemukan bahwa ketika orang mulai menghasilkan lebih dari US$ 75.000 dalam kurun waktu setahun, kebahagiaan mereka tidak meningkat.

 

Reporter: Priscilla Dewi Kirana