Sukses

Pemerintah Pastikan Lindungi UMKM dari Praktik Cross-Border Ilegal di E-Commerce

Pelaku usaha menyampaikan keluhan potensi praktik cross border illegal di e-commerce yang berdampak buruk untuk pengusaha pemegang hak impor resmi dan pelaku UMKM lokal.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) memastikan adanya perlindungan bagi para pelaku koperasi dan UMKM yang go digital dari bahaya praktik “cross border illegal” di platform e-commerce.

Deputi Bidang Usaha Kecil dan Menengah KemenKopUKM Hanung Harimba Rachman, Staf Khusus MenKopUKM Fiki Satari, dan Direktur Bisnis dan Pemasaran SMESCO Wientor Rahmada menerima perwakilan pengusaha pemegang hak impor produk kecantikan internasional yaitu Sociolla, Nature Republic, dan PeriPera pada Senin 15 Maret 2021. 

Pertemuan ini untuk melakukan audiensi terkait dugaan praktik cross border illegal yang terjadi dalam platform e-commerce di Indonesia.

Dalam audiensi tersebut, para pelaku usaha menyampaikan keluhan dan paparan data perihal potensi terjadinya praktik cross border illegal pada platform e-commerce yang berdampak buruk tidak hanya untuk pengusaha pemegang hak impor resmi, namun juga pelaku UMKM lokal. Produk asing ilegal yang berharga sangat murah dan belum tentu asli bisa mengancam produk lokal.

Potensi kerugian negara juga sangat besar akibat praktik cross border illegal karena tidak ada pajak yang dibayarkan.

Produk ilegal yang banyak dikeluhkan adalah barang-barang lartas seperti kimia, kosmetik, obat, dan lain-lain. Produk tersebut diimpor dan beredar tanpa izin melalui e-commerce. Praktik ini menyebabkan banyaknya produk palsu dan ilegal di luar akun merchant resmi dengan harga yang jauh lebih murah beredar melalui e-commerce karena tidak mengurus izin BPOM dan diduga tidak membayar pajak sesuai peraturan.

Salah satu peserta audiensi, Franseda yang merupakan pemilik hak impor eksklusif Nature Republik menyatakan sangat berterima kasih atas kesempatan audiensi yang diberikan.

"Kami merasa perlu menyampaikan temuan, kerugian, dan ketidakadilan, serta kemungkinan efek negatif yang dapat timbul di kemudian hari bagi perekonomian di Indonesia khususnya bagi pelaku UMKM,” katanya dalam keterangan tertulis, Selasa (16/3/2021).

Para pelaku usaha menyebutkan sangat mengapresiasi langkah KemenKopUKM menggelar diskusi ini untuk dapat memetakan langsung permasalahan riil di lapangan, namun juga berharap agar tindak lanjut dan upaya pelindungan terhadap pelaku usaha dapat segera digulirkan.

Franseda menambahkan, selama ini proses legal terus mereka lakukan, baik dari laporan, aduan, dan lainnya, tapi praktik ilegal terus terjadi. Menurutnya, harus ada pelindungan menyeluruh bagi pelaku usaha di e-commerce, investigasi kemungkinan terjadinya pelanggaran oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab, dan penyempurnaan regulasi.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Pelindungan Pemerintah

Menanggapi hal tersebut, Hanung menegaskan pelindungan pemerintah terhadap UMKM terkait produk yang masuk dari negara lain telah dilakukan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 199/PMK/010/2019 yang menurunkan ambang batas bea masuk barang kiriman dari USD 75 menjadi USD 3.

Barang impor di atas USD 3 dikenai tarif pajak sebesar 17,5 persen yang terdiri dari bea masuk 7,5 persen, PPN 10 persen, dan PPh 0 persen.

Di sisi lain PP 80 tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik juga telah mengatur berkenaan aktivitas perdagangan melalui platform digital seperti e-commerce.

Sebagaimana diketahui bahwa saat ini terjadi peningkatan perdagangan produk-produk asing yang diperjualbelikan melalui aplikasi e-commerce lintas negara (cross-border e-commerce). Meskipun masih tumbuh sangat kecil, akan tetapi pemerintah mengkhawatirkan gempuran produk-produk asing ilegal yang trennya terus mengalami peningkatan akan merugikan perekonomian Indonesia.

Di sisi lain pemegang hak impor mengeluhkan praktik cross border illegal yang terjadi di e-commerce menyebabkan perusahaan mereka sebagai pemegang lisensi resmi untuk mengimpor produk-produk tersebut dirugikan.

Jika praktik cross border tidak diregulasi dengan baik, maka akan merugikan banyak pihak. Pengusaha akan mengalami kerugian karena produk mereka akan kalah bersaing dengan produk cross border ilegal yang harganya jauh lebih murah.

Konsumen juga akan dirugikan karena keaslian dari produk cross border illegal tidak dapat dipertanggungjawabkan dan bisa berakibat fatal terhadap kesehatan serta keselamatan konsumen.

Selain itu negara juga akan dirugikan karena adanya potensi kehilangan pendapatan negara akibat tidak adanya penerimaan pajak dari produk cross border ilegal tersebut.

 

3 dari 3 halaman

Celah Praktik Tidak Sehat

John Rasjid dari Sociolla yang juga turut hadir menyampaikan permohonan untuk pemerintah dapat melakukan pengkajian peraturan yang memberi celah praktik tidak sehat dari cross border e-commerce dan membentuk task force untuk memantau kegiatan marketplace e-commerce dengan seksama demi menghindari terjadinya praktik yang merugikan konsumen.

Untuk hal tersebut Hanung mengatakan KemenkopUKM akan berkoordinasi dan bekerja sama lintas kementerian/lembaga karena pengelolaannya di luar KemenKopUKM.

Komitmen keberpihakan yang kuat dan pelindungan terhadap UMKM tercermin dari berbagai kebijakan yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Lewat UU tersebut, UMKM diberikan kemudahan dari perizinan, akses pasar, rantai pasok, hingga akses pembiayaan.

Selain itu Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM juga telah resmi diundangkan.

“PP ini menjadi krusial sebagai upaya pemerintah melindungi UMKM dari praktik predatory pricing. Kemenkopukm akan memastikan pelindungan terhadap produk Koperasi & UMKM menjadi prioritas utama,” pungkas Hanung.