Sukses

Jerit Industri Tekstil di Tengah Pandemi, Terhimpit Produk China hingga PHK Besar-besaran

Pandemi Covid-19 yang telah melanda Indonesia setahun belakang telah memberikan dampak negatif terhadap ekonomi, termasuk pada industri tekstil.

Liputan6.com, Jakarta - Pandemi Covid-19 yang telah melanda Indonesia setahun belakang telah memberikan dampak negatif terhadap ekonomi. Salah satu sektor yang terkena imbas parah dari pandemi ini yaitu Tekstil dan Produk Tekstil (TPT).

Sekjen Asosiasi Pengusaha Industri Kecil Menengah Indonesia Widia Erlangga mengatakan, dengan adanya pandemi Covid-19 satu tahun belakang ini, secara langsung berimbas kepada kemampuan produksi dari pabrikan lokal yang semakin menurun.

Meski pada dasarnya kebanyakan dari pabrikan tekstil lokal yang sebelumnya mengalokasikan hampir 70 persen total produksinya untuk pasar ekspor yang kemudian terkendala dalam proses ekspor di masa pandemi Covid-19 ini, sehingga hasil produksinya secara terpaksa harus dialihkan untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal, dirasa masih tidak mampu untuk membendung kenaikan harga bahan baku dari jenis jenis tersebut.

Menurut Widia, fakta dilapangan mengungkapkan bahwa sebenarnya permintaan di pasar domestik atau lokal pun pada kenyataannya mengalami penurunan yang cukup signifikan. Namun penurunan kebutuhan tersebut masih tidak dapat diakomodir dengan stok barang produksi dari pabrikan lokal di pasar lokal ataupun domestik.

"Hal tersebut semakin di perburuk dengan kemudahan masuknya barang-barang jadi (garment) impor China dan Thailand ke Indonesia, yang mana harga jual dari barang jadi impor tersebut jauh lebih murah dibandingkan hasil produksi para pelaku IKM yang terbentur tingginya harga bahan baku," kata dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (19/3/2021).

"Dalam hal ini para pelaku IKM merasa sangat kesulitan jika harus menurunkan harga barang jadi produksi mereka agar dapat bersaing dengan harga barang jadi impor yang membanjiri pasar-pasar domestik saat ini, dikarenakan kenaikan harga bahan baku secara langsung berimbas kepada tingginya biaya produksi yang harus mereka tanggung," lanjut dia.

Hal ini juga ditambah dengan diberlakukannya aturan Pemerintah yang dimuat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.161/PMK 010/2019, PMK No.162/PMK. 010/2019 dan PMK No.163/ PMK.010/2019 terkait Pemberlakuan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPS)/Safeguards terhadap impor tekstil dan produk tekstil (TPT) pada November 2019 yang lalu.

Namun bagi para pelaku IKM sektor konveksi atau pun garmen kenaikan harga bahan baku bagi mereka saat ini sudah naik hingga 30 persen. Hal ini dirasa malah semakin mempersulit mereka dalam hal mendapatkan bahan baku bagi keberlangsungan usahanya saat ini. Beberapa jenis kain produksi lokal seperti Rayon dan Katun yang digunakan oleh para pelaku IKM di sektor konveksi di kota-kota besar seperti Solo dan Bandung malah mengalami kenaikan yang sangat signifikan dengan rentang 20 persen sampai dengan 30 persen per yard nya.

"Hal ini dikarenakan, semenjak diberlakukannya kebijakan safeguard bagi bahan baku tekstil impor, terjadi ketimpangan jumlah supply dan demand terhadap jenis bahan baku kain Dimana sebelumnya untuk jenis jenis bahan baku tersebut, supply didapatkan dari hasil produksi pabrikan lokal dan juga impor, kini menjadi hanya didapat dari pabrikan lokal saja, yang mana kapasitas produksi dari pabrikan lokal tersebut masih belum bisa mencukupi kebutuhan di pasar domestik ataupun lokal," jelas dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Kebijakan Safeguard

Kemudian, kata Widia, kebijakan safeguard untuk bahan baku tekstil sendiri sebenarnya adalah salah satu cara yang dilakukan pemerintah guna mendongkrak produksi pabrikan tekstil lokal yang sebelumnya dikeluhkan oleh mereka karena dirasa jumlah impor bahan baku tekstil yang masuk ke Indonesia membuat barang hasil produksi mereka tidak dapat di serap secara maksimal oleh pasar domestik. Namun seharusnya dalam waktu 1,5 tahun tersebut, para produsen kain lokal diharapkan bisa menaikan angka produksinya.

Sudah bukan rahasia umum jika pada waktu sebelum diberlakukan safeguard untuk bahan baku tekstil kapasitas mesin dari para pabrikan lokal yang terpakai baru mencapai kurang lebih 50 persen dan masih terdapat sisa 50 persen kapasitas produksi lagi. Namun pada kenyataannya kapastisas produksi tersebut tidak menunjukan kenaikan yang signifikan, terkait hal ini sangat disayangkan dan dirasa perlu untuk di konfirmasi kepada para produsen lokal tersebut.

"Karena jika kembali pada saat awal kebijakan safeguard untuk bahan baku tekstil di setujui dan dilakukan para pelaku pabrikan bahan baku tekstil lokal sudah berjanji bahwa akan memenuhi kebutuhan bahan baku di dalam negeri, tetapi fakta-fakta dilapangan justru sebaliknya, ketika kebijakan safeguard telah diberlakukan, selama 1,5 tahun, kenyataannya harga bahan baku tekstil lokal bisa naik hingga 30 persen.

Kemudian masalah permodalan yang diharapkan menjadi salah satu solusi bagi pelaku IKM untuk dapat impor mesin, dan dibantu oleh pemerintah dengan pembiayaan sebesar 25 persen selebihnya, sebesar 75 persen bisa didapatkan melalui KUR (Kredit Usaha Rakyat) dinlai Widia hanya menjadi janji manis dari pemerintah saja karena dirasakan kurang tepat.

Karena, mayoritas dari para pelaku IKM memiliki kredibilitas yang kurang baik hingga kesulitan di terima oleh pihak perbankan, salah satu faktor terkait hal itu adalah tunggakan kredit para pelaku IKM tertunggak pasca terimbas dampak pandemi Covid-19.

"Dalam satu tahun ini saja sudah banyak para pelaku IKM yang terpaksa harus mengurangi jumlah pekerja mereka secara besar besaran, bahkan beberapa diantaranya terpaksa untuk menutup usaha mereka, yang mana semakin memperbesar angka pengangguran saat ini, Sebagaimana kita ketahui bersama, sektor IKM adalah salah satu jenis usaha yang merupakan jenis usaha padat karya yang dapat memberikan lapangan pekerjaan yang cukup besar bagi sektor informal," tutur Widia.

"Pemerintah harus bertindak cepat, karena jangan sampai kebijakan safeguard yang diambil oleh Pemerintah malah dijadikan sebagai celah oleh segelintir pihak yang memanfaatkan keadaan, dan pihak IKM yang dirugikan dari kebijakan tersebut, meskipun kebijakan tersebut diakui dilakukan sebagai bentuk perlindungan bagi industri tekstil dalam negeri dari gempuran bahan baku impor," tutup dia.

Â