Sukses

Jatuh Bangun Usaha Jeruk Peras di Tengah Pandemi, Tolak Gulung Tikar Meski Kehilangan Karyawan

Para pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) terus berjuang di tengah tekanan pandemi Covid-19.

Liputan6.com, Jakarta - Para pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) terus berjuang di tengah tekanan pandemi Covid-19. Salah satu yang bisa bertahan adalah Susanti, pemilik usaha Alya Baby Orange.

Perempuan yang akrab disapa Santi tersebut memulai usahanya dari 2017, setelah memutuskan keluar dari pekerjaan tetapnya. Ia menjatuhkan pilihan menjual minuman jeruk peras karena proses pembuatan yang tidak rumit dan memiliki banyak penggemar.

"Alasannya karena tidak sulit dan minuman jeruk ini juga banyak penggemarnya. Waktu baru mulai usaha itu sangat laris, dan sebagai yang baru mulai usaha saya senang sekali," ungkap Santi kepada Liputan6.com.

Mengingat tidak memiliki toko untuk usahanya tersebut, Santi memanfaatkan berbagai acara offline. Mulai dari car free day hingga bazar di berbagai acara perkantoran.

Santi mengenang salah satu momen terbaiknya ketika berjualan, yaitu saat mengikuti bazar dalam perayaan Ulang Tahun DKI Jakarta di daerah Bintaro sektor 1 dan Setu Babakan, Jakarta Selatan.

Di acara Bintaro tersebut, katanya, bisa menghabiskan 9 karung jeruk mulai dari pukul 09.00-11.00 WIB. Satu karung bisa menghasilkan 40 minuman jeruk peras dalam botol 250 ml, dan paling sedikit 37 botol.

Untuk harga jual, selama 2017 hingga 2019 dijual Rp 15 ribu per botol di car free day. Sudah satu tahun terakhir harga jual naik menjadi Rp 16 ribu. Sementara untuk di bazar perkantoran berkisar Rp 20 ribu mengingat ada biaya sewa tempat.

Selain lewat kedua tempat tersebut, Santi bersama enam karyawannya freelance yang ia punya, juga membuka booth di sekitar Masjid Pondok Indah ketika hari Jumat.

"Kalau Jumat itu biasanya kita melihat peluang orang bubar sholat, atau biasanya sebelum itu orang-orang kantor jajan. Sasaran kita itu saja, maklum tidak punya tempat," tuturnya.

Sebelum pandemi, Santi juga membuka booth sementara di stasiun kereta api setiap Senin-Jumat. Namun karena pandemi, sudah setahun terakhir usahanya di stasiun kereta api ditutup.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Pukulan Pandemi

Sama seperti banyak usaha lain, bisnis jeruk peras Santi pun ikut terdampak pandemi Covid-10. Mulai dari lokasi penjualan yang berkurang hingga omzet yang didapat.

Sebelum pandemi, Santi bisa mengantongi omzet sekitar Rp 3 juta satu hari. Jumlah tersebut selama pandemi ini turun menjadi hanya Rp 1,5 juta.

Karena berbagai kegiatan yang dibatasi, Santi selama satu tahun terakhir tak lagi berjualan di sekitar stasiun, begitu pula di car free day.

Dalam satu pekan yang biasanya bisa menghabiskan sekitar 11 karung jeruk, kini berkurang hanya 4 karung. Saat ini, ia hanya membuka usaha di kawasan Cibubur dan Cijantung setiap hari Minggu dan Jumat di Masjid Cut Meutia, Jakarta Pusat.

Kini ia menjalankan usahanya sendiri, tanpa ada karyawan lagi. Hal ini disebabkan sepinya acara pada akhir 2019, ditambah isu pandemi pada awal 2020 sehingga dia memutuskan tidak lagi merekrut karyawan freelance mulai awal tahun lalu.

"Sekarang sudah tidak ada karyawan, jadi hanya dibantu anak-anak saya dan suami kalau sedang libur," kata perempuan kelahiran 1980 tersebut.

Kendati penjualan berkurang drastis dan tidak ada karyawan, Santi tetap optimistis melanjutkan usahanya. Bahkan sebagai ganti tidak ada penjualan jeruk peras pada weekdays atau hari kerja, ia memberanikan diri menyewa kios di dekat rumahnya di kawasan Cipete Utara, Jakarta Selatan.

Di kios tersebut yang ia jual adalah dimsum dan minuman thai tea. Harga minuman jeruk peras, katanya, tidak sesuai dengan target pasar di kawasan kios tersebut.

3 dari 3 halaman

Jalankan Protokol Kesehatan

Santi mengungkapkan salah satu yang membuat usahanya masih bertahan yaitu dengan tetap menerapkan protokol kesehatan di tengah pandemi. Protokol kesehatan ini dinilai sangat penting bagi para pelaku usaha kuliner.

"Di bidang kuliner ini kalau tidak pakai masker, tidak ada protokol kesehatannya, konsumen tidak mau beli," tutur Ibu dua anak ini.

Selama satu tahun pandemi, menurutnya, saat ini penjualan sudah mulai membaik. Jumlah pembelinya perlahan juga mengalami kenaikan.

"Kalau sekarang di Masjid Cut Meutia saya juga baru mulai coba tiga bulan ini, dan ramai orang-orang kantoran. Sekarang sudah agak ramai, tapi protokol kesehatan tetap dijalani," ungkap Santi.