Sukses

Miliarder Lain Sibuk Ciptakan Mobil Listrik, Orang Terkaya Australia Ingin Bikin Mobil Hidrogen

Miliarder Andrew Forrest mengkritik sikap Elon Musk yang sering kali menyudutkan kendaraan ramah lingkungan berbahan bakar Hidrogen.

Liputan6.com, Jakarta Miliarder Australia pemilik tambang besi terbesar di dunia, Andrew Forrest melontarkan kritikannya terhadap bos Tesla, Elon Musk. Kritikan terkait sikap penolakan terhadap penggunaan energi hidrogen sebagai bahan bakar mobil ramah lingkungan. 
 
Dikutip dari Bloomberg, Senin (29/3/2021) kritikan Forrest ini menandai persaingan lebih lanjut antara pemain utama mobil listrik dunia, Tesla, dengan sejumlah pihak yang mengajukan alternatif lain dalam pengembangan mobil ramah lingkungan.
 
Kritikan tersebut disampaikan Forrest saat hadir dalam konferensi Investasi Asia Kredit Suisse Group AG pada rabu pekan lalu.
 
"Setiap alasan untuk takut pada mereka, dan deskripsinya mungkin lebih cocok menurut saya untuk seseorang yang menjajakan teknologi baterai sebagai teknologi ramah lingkungan saat dijalankan dengan bahan bakar fosil," sebut dia.
 
Forrest yang merupakan pemilik Fortescue Metals Group, perusahaan tambang pengekspor biji besi terbesar keempat di dunia belum lama ini mulai merambah bisnis baru, yaitu pengembangan energi bersih terbarukan.
 
Dia menyebutkan bahan untuk pembuatan baterai pada mobil listrik sifatnya masih terbatas, beda dengan hidrogen yang disebutnya tersedia melimpah di dunia.
 
Dari sinilah ide Andrew Forrest bermula untuk mulai mendukung pengembangan mobil ramah lingkungan berbahan bakar sel hidrogen.
 
Inovasi ini dilihat sangat menjanjikan di masa depan, opsi lain atas dominasi Tesla yang meluncurkan mobil ramah lingkungan berbahan bakar listrik yang sama-sama rendah karbon.
 
Meski begitu, Musk sudah lebih dulu mengibarkan bendera persaingan antara mobil listriknya dengan mobil berbahan bakar hidrogen.
 
Dikutip dari CNBC, sudah sejak beberapa tahun belakangan, Musk sering menyebut penggunaan bahan bakar hidrogen sebagai langkah yang "sangat bodoh".
 
Itu bukan satu-satunya hal negatif yang dia katakan tentang teknologi ini. Dia juga menyebutnya "sel bodoh" juga "tumpukan sampah". Pada pertemuan pemegang saham pada tahun 2018 silam, Musk bahkan menyebut inovasi ini "kesuksesan sama sekali tidak mungkin."
 
Terbaru, saat memberi pernyataannya di depan audiens China awal bulan ini, Musk menyebut pengembangan mobil listrik berbasis baterai yang menggunakan tenaga surya dan bayu memiliki prospek yang sangat baik di negeri tirai bambu. Sebaliknya, ia menyebut penggunaan energi hidrogen justru tidak menjanjikan. 
 

Saksikan Video Ini

2 dari 3 halaman

Mobil Listrik VS Mobil Hidrogen

Menguatnya kampanye penggunaan mobil berbahan bakar hidrogen memunculkan persaingan baru pada industri kendaraan ramah lingkungan, yang artinya mulai membangun pesaing baru bagi Tesla.
 
Apalagi penggunaan bahan bakar hidrogen dinilai sejumlah pakar tidak memerlukan proses pembuatan baterai yang besar serta tidak ada tanggung jawab terkait daur ulang baterai bekas yang dihasilkan kendaraan listrik.
 
Penggunaan kendaraan dengan bahan bakar hidrogen memiliki resiko kerusakan lingkungan lebih kecil dibanding bahan bakar fosil, seperti halnya penggunaan baterai listrik yang rendah emisi karbon.
 
Meski begitu, pengembangannya yang tergolong masih baru membuatnya sulit bersaing dengan kendaraan berbahan listrik Tesla yang sudah sebesar sekarang.
 
Lebih dari setengah juta kendaraan keluar dari jalur produksi Tesla tahun lalu. Sementara mobil hidrogen masih lebih merupakan konsep baru yang masih perlu pengembangan lebih lanjut dan masih jauh dari harapam untuk komersial.
 
Bloomberg NEF mengatakan dalam sebuah laporan tahun lalu tentang industri hidrogen. Sebagian besar pasar mobil, bus, dan truk ringan cenderung menyukai baterai sebagai solusi yang lebih murah daripada sel bahan bakar hidrogen.
 
Meski begitu, Forrest tetap optimis akan industri baru ini. Ia berharap pada ambisi China untuk memiliki lebih dari satu juta kendaraan sel bahan bakar hidrogen pada tahun 2030 bersama dengan rencana di Jepang dan Korea Selatan untuk meningkatkan penggunaannya.
 
“Energi hijau perlu tersedia pada industri, skala global, dan dengan harga yang bersaing dengan bahan bakar fosil,” kata Forrest. 
 
"Ketika energi bahan bakar fosil menjadi lebih mahal daripada energi terbarukan, saat itulah kita akan mencapai titik kritis." tambahnya. 
 
 
Reporter: Abdul Azis Said
3 dari 3 halaman