Sukses

Masalah Besar Masih Mengintai Meski Kapal Raksasa Ever Given Berhasil Lepas dari Kanal Suez

Meski Ever Given sudah tidak lagi memutus lalu lintas di jalur air vital, tetapi para ahli mengatakan gangguan terhadap perdagangan global masih akan terus terasa.

Liputan6.com, Jakarta Ever Given, kapal kontainer raksasa yang terjepit di Terusan Suez dan memblokir lalu lintas selama hampir sepekan, telah berhasil ditarik keluar pada Senin, 29 Maret 2021 waktu setempat.

Meski sudah tidak lagi memutus lalu lintas di jalur air vital, tetapi para ahli mengatakan gangguan terhadap perdagangan global masih akan terus ada.

“Kami mungkin merayakan keberhasilan melepaskan kapal dan membuka blokir Suez, tapi itu bukan akhir dari cerita di sini,” kata Douglas Kent, Wakil Presiden Eksekutif Strategi dan Aliansi Association for Supply Chain Management, seperti melansir laman CNBC, Selasa (30/3/2021).

"Kondisi ini pasti akan masih terus membuat kekacauan yang mengganggu setelahnya," kata dia.

Kapal Ever Given yang terjepit merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Insiden ini membuat sejumlah awak kapal bekerja siang dan malam untuk membebaskan kapal yang tingginya lebih dari 1.300 kaki atau hampir sepanjang Gedung Empire State tersebut.

Pada akhirnya, kapal itu berhasil dibebaskan sekitar pukul 9 pagi waktu setempat. Ini setelah lebih dari 10 kapal tunda tiba di tempat kejadian, bersama dengan peralatan pengerukan khusus dan tim penyelamat ahli yang semuanya bekerja sama untuk membebaskan kapal berbobot 220.000 ton tersebut.

Meski saat ini lalu lintas di Kanal Suez telah kembali berjalan, dampak dari gangguan yang berlangsung berhari-hari diperkirakan akan terus terasa.

Sekitar 12 persen dari perdagangan global mengalir melalui Terusan Suez dengan kapal besar seperti Ever Given, yang dapat menampung 20.000 kontainer sekaligus.

Lloyd's List, salah satu jurnal tertua di dunia yang menyediakan berita tentang pengiriman, memperkirakan bahwa lebih dari USD 9 miliar barang melewati jalur air sepanjang 120 mil setiap hari, yang diterjemahkan menjadi sekitar USD 400 juta per jam.

"Gangguan seminggu sebesar ini akan terus memiliki efek berjenjang ... itu harus dilakukan setidaknya 60 hari sebelum semuanya beres dan tampak sedikit kembali normal," jelas Stephen Flynn, profesor ilmu politik di Universitas Northeastern. "Tingkat gangguan ini menurun setiap 24 jam," katanya.

Efek yang dimaksud termasuk kemacetan di pelabuhan serta kapal tidak berada di tempat yang tepat untuk perjalanan terjadwal berikutnya.

Satu poin yang tidak kalah penting adalah hal ini akan kian memperburuk rantai pasokan akibat kekurangan kontainer di tengah lonjakan pembelian Covid-19.

Saksikan Video Ini

2 dari 2 halaman

Tantangan dari sistem pengiriman tepat waktu

Flynn, yang juga Direktur Global Resilience Institute, mencatat bahwa saat ini salah satu tantangan dari sistem pengiriman yang tepat waktu, imbas dampak lanjutan terjepitnya kapal Ever Given.  Industri perakitan akan tak bisa beroperasi karena suku cadang tidak muncul seperti target, sebagai contoh.

“Ini akan memakan waktu yang sangat lama dan mereka baru saja memulai proses untuk menyelesaikannya ... pada dasarnya Anda telah menciptakan kemacetan lalu lintas yang tidak memungkinkan Anda hanya untuk reset dan restart. Anda harus kembalikan dan setel ulang sistem dan itu akan membutuhkan banyak koreografi,” lanjut Flynn.

Dalam perburuan barang yang efisien dan berbiaya rendah, penting untuk menciptakan ukuran kapal menjadi semakin besar. Sementara, tidak semua pelabuhan dapat menangani kapal seukuran Ever Given, yang menyebabkan sistem terkonsentrasi.

Kapal sebesar ini mungkin berlayar dari Cina ke Rotterdam, dimana jalur Ever Given sebelumnya berada, tempat peti kemasnya kemudian dapat dimuat ke kapal-kapal kecil yang berlayar ke seluruh Eropa atau tujuan lain termasuk Amerika Serikat.

Dengan kata lain, pelabuhan yang lebih kecil tidak bisa begitu saja menyerap konflik penjadwalan yang diciptakan oleh kemacetan lalu lintas di Terusan Suez.

Hampir 19.000 kapal melewati kanal selama 2020, dengan rata-rata 51,5 per hari, menurut Otoritas Terusan Suez atau Suez Canal Authority.

Pada Senin pagi, total lebih dari 350 kapal telah terhadang di kedua ujung Terusan Suez karena Ever Given memutus akses di kedua arah. Kapal mulai menuju selatan dari Great Bitter Lake ke Teluk Suez pada Senin sore ketika Otoritas Terusan Suez berusaha untuk membuat lalu lintas bergerak kembali.

Agen pengiriman GAC mengatakan bahwa lalu lintas diharapkan akan kembali normal dalam tiga hingga empat hari ke depan.

“Berapa lama pun waktu yang dibutuhkan, kerusakan telah terjadi, dengan operator memperingatkan untuk mengantisipasi gangguan rantai pasokan selama berbulan-bulan dan bahkan kapasitas yang lebih ketat karena impor Asia melonjak ke Eropa dan Amerika Utara,” ucap Mark Szakonyi, editor eksekutif The Journal of Commerce.

Beberapa perusahaan pelayaran, termasuk Hapag-Lloyd, membuat keputusan untuk mengubah rute kapal di sekitar Cape of Good Hope. Ini menambah setidaknya satu minggu tambahan waktu berlayar, sementara juga menyebabkan biaya bahan bakar lebih tinggi.

Kedepannya, para ahli tidak setuju seberapa besar hal ini pada akhirnya akan berdampak pada konsumen AS.

Jeffrey Bergstrand, profesor keuangan di Mendoza College of Business Universitas Notre Dame, mengantisipasi efek minimal.

"Insiden kapal tanker Ever Given yang sekarang dibebaskan, yang memblokir Terusan Suez selama kurang lebih satu minggu, hanya akan berdampak kecil dan sementara pada harga barang impor," katanya. “Karena sebagian besar impor yang diblokir selama seminggu terakhir menuju ke Eropa, konsumen AS kemungkinan akan melihat sedikit pengaruh pada harga impor AS, kecuali barang akhir AS dibuat di Eropa.”

Flynn, di sisi lain, mengatakan bahwa harga di AS "hampir pasti" akan naik, karena rantai pasokan dunia yang saling berhubungan terus tertekan.

“Sabuk pengangkut dari sistem transportasi laut inilah yang menggerakkan [produk] di sekitar, dan kami menerima begitu saja sampai tiba-tiba berhenti. ... Akan ada banyak efek urutan kedua dan ketiga ini."

Reporter: Priscilla Dewi Kirana