Liputan6.com, Jakarta PT Gerlink menciptakan alat terapi oksigen beraliran tinggi atau High Flow Nasal Cannula (HFNC) untuk mencegah pasien Covid-19 gagal bernafas lantaran serangan Virus Corona dan penyakit paru-paru kronis. Alat tersebut saat ini banyak digunakan di sejumlah rumah sakit dengan nama GLP HFNC-01.
Direktur Utama PT Gerlink, Ghozalfan Basarah menceritakan perjalanan panjang produk dalam negeri tersebut sebelum akhirnya diterima oleh rumah sakit. Menurutnya, tak semua alat lokal diterima di dalam negeri. Setidaknya ada empat tantangan yang selalu dihadapi.
Baca Juga
"Pertama, sedikitnya SDM yang inovatif dan memiliki karakter pejuang. Sebab, alat lokal itu jarang langsung diterima. Alat kami ini terlebih dahulu mendapat penolakan disana-sini. Bayangkan kalau saya tak punya mental pejuang, alat ini pasti gagal," ujarnya, Jakarta, Selasa (30/3/2021).
Advertisement
Basarah mengatakan, produsen alat lokal harus mampu dan siap mendapat penolakan. Kegigihan memasarkan produk tak boleh berkurang, bahkan harus siap secara terus menerus menerangkan keunggulan produk yang dimiliki.
"Pejuang alat lokal itu harus tangguh. Alat impor di RS itu memang mereka lebih bagus secara tampilan, dan mereka lebih dahulu masuk dipasaran alat kesehatan. Sudah berpuluh-puluh tahun. Itu masih di satu RS belum RS lain. Kalau nggak ada karakter pejuang dipihak industri, kita tak bisa menghargai produk lokal sukses. Ini memang butuh karakter pejuang, sehingga banyak yang berguguran," katanya.
Tantangan kedua adalah harga produk terutama dari China, harga sangat bersaing. Bahkan, negara Tirai Bambu tersebut kadang kala tidak segan untuk menurunkan harga di bawah harga terendah demi mematikan produk lokal.
"Harga China itu tergolong sangat murah. Bahkan terkadang setelah lihat harga di dalam negeri, China berani turunkan harga di bawah harga dia juga harga jual dalam negeri untuk menghancurkan produk lokal," jelas Basarah.
Tantangan ketiga adalah user sudah terlalu lama dimanja produk asing. Dokter, perawat dan petugas kesehatan lainnya sudah dimanja kemudahan produk asing.
"Keempat, budaya inovasi industri belum tumbuh di Indonesia, kita masih semangat menjual produk impor dibanding produk dalam negeri. Empat tantangan ini memang yang selalu kita hadapi," tandasnya.
Â
Â
Anggun P. Situmorang
Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Di Negara Maju Porsi Pendanaan Riset oleh Swasta Bisa Capai 80 Persen
Menteri Riset dan Teknologi dan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brojonegoro mengatakan, hingga saat ini anggaran riset dan inovasi dalam negeri didominasi oleh pemerintah dengan persentase lebih dari 85 persen. Padahal alokasi anggaran riset Indonesia masih tergolong sangat kecil.
"Berbeda dengan negara maju seperti Korea Selatan, Jepang, Amerika Serikat serta China. Di mana partisipasi sektor swasta dalam pendanaan riset jauh lebih besar dari pemerintah yaitu berkisar 60-80 persen dari total pengeluaran riset dan development," ujarnya, Jakarta, Selasa (30/3).
Pemerintah mendorong partisiasi swasta dalam mendukung riset dan inovasi serta melakukan percepatan alih teknologi. Salah satunya melalui program insentif pengurangan pajak atau supertax deduction yang diatur dengan peraturan Menteri Keuangan 153 2020.
"Insentif ini diberikan kepada wajib pajak dalam negeri yang melakukan penelitian dan pengembangan tertentu di Indonesia. Pengurangan diberikan hingga 300 persen sesuai kebutuhan," jelas Bambang.
Melalui program ini diharapkan pihak swasta dapat meningkatkan partisipasi pendanaan riset dan inovasi. Manfaat lain dari program ini adalah meningkatnya kolaborasi antara industri dan lembaga penelitian.
"Sehingga nantinya hasil-hasil riset inovasi dapat menjadi pemicu produktivitas industri dan dapat dirasakan oleh masyarakat," tandas Bambang.
Advertisement