Liputan6.com, Jakarta Industri penerbangan nasional disebut tengah 'sakit'. Pandemi Covid-19 disinyalir bukan menjadi satu-satunya alasan atas insiden pesawat terbang yang terjadi sepanjang 2021 ini.
Pengamat Penerbangan Gatot Raharjo mengatakan, di tahun 2021 saja, sudah banyak kecelakaan pesawat yang menunjukkan rentannya aspek keselamatan dan keamanan industri penerbangan Indonesia.
Baca Juga
Protes Model Plus Size Usai Dilarang Naik Pesawat Komersil Tak Membuahkan Hasil, Terpaksa Terbang dengan Jet Pribadi
100 Maskapai Batalkan Penerbangan karena Bandara Terendam Air, Imbas Banjir Bandang di Spanyol
Kemenpar Apresiasi Maskapai Lokal Pertahankan Rekor Ketepatan Waktu Penerbangan Mencapai 93 Persen
Rentetan kecelakaan atau insiden melanda pesawat terbang berbagai maskapai sejak awal 2021. Kejadian tersebut terjadi kurang dari 3 bulan sejak kecelakaan pesawat B737-500 Sriwijaya Air pada 9 Januari 2021 lalu.
Advertisement
Seperti kecelakaan yang terjadi pada pesawat kargo B737-400 Trigana Air di Bandara Halim Perdanakusuma pada Sabtu, 20 Maret 2021.
Pada 17 Februari, Garuda Indonesia GA 642 mengalami rusak mesin saat terbang dari Makassar menuju Gorontalo sehingga harus kembali ke Makassar.
Pada 6 Maret 2021, Batik Air ID-6803 rute Jambi-Jakarta mendadak harus Return To Base (RTB) ke Jambi karena roda depan pesawat bermasalah sehingga pesawat terhenti di tengah runway dan mengakibatkan bandara ditutup sementara.
Pada 8 Maret 2021, penerbangan Batik Air ID-6561 rute Palu - Jakarta mengalami penundaan keberangkatan karena ditemukan garis yang melengkung pada permukaan lapisan kaca kokpit di bagian kiri.
Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab atas semua hal ini?
"Dalam Undang-Undang no 1 tahun 2009 tentang Penerbangan pada pasal 308, disebutkan bahwa Menteri (Perhubungan) bertanggung jawab terhadap keselamatan penerbangan nasional. Menteri Perhubungan adalah regulator penerbangan nasional yang mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagai pengatur, pengawas da pengendali penerbangan nasional," jelas Gatot dalam tulisannya, dikutip Liputan6.com, Minggu (4/4/2021).
Lanjut Gatot, pada pasal 312 disebutkan, Menteri Perhubungan bertanggung jawab terhadap pengawasan keselamatan penerbangan nasional, di mana tugas pengawasan tersebut dalam dilakukan dalam kegiatan audit, inspeksi, pengamatan (surveillance) dan pemantauan (monitoring) untuk melihat pemenuhan peraturan keselamatan penerbangan yang dilaksanakan oleh penyedia jasa penerbangan dan pemangku kepentingan lainnya.
Terkait keselamatan penerbangan, aturan-aturannya bersifat internasional yang ditetapkan oleh ICAO melalui Annex, Documents dan Standart and Recommendation Practises (SaRPs). Aturan-aturan tersebut diadopsi di Indonesia menjadi CASR.
"Semua pemangku kepentingan, baik itu regulator, operator maupun pihak lain terkait, termasuk masyarakat, harus mengikuti aturan tersebut, tidak boleh menyimpang atau membuat aturan sendiri," ujarnya.
Dalam melaksanakan tugasnya, Menteri Perhubungan dibantu beberapa istitusi di bawahnya, termasuk di antaranya adalah Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) yang bertugas melakukan investigasi dan penelitian kecelakaan transportasi.
Investigasi KNKT dilakukan untuk mencari apa akar penyebab dan kemudian memberikan rekomendasi kepada berbagai pihak terkait seperti regulator, operator dan lainnya.
"Namun rekomendasi KNKT ternyata tidak sepenuhnya dilaksanakan. Pada periode 2015-2020, dari sekitar 241 rekomendasi terkait penerbangan, sejumlah 125 atau 52 persen rekomendasi belum ditindaklanjuti. Bahkan pada tahun 2020, hingga akhir tahun belum ada rekomendasi KNKT yang dilaksanakan," kata Gatot.
Â
Saksikan Video Ini
Ambil Langkah Serius
Menurut Gatot, Menteri Perhubungan selaku penanggung jawab penerbangan nasional, sudah seharusnya mengambil langkah serius terkait insiden ini.
Kebijakan publik harus segera diperbaiki atau dibuat baru, terutama terkait bisnis penerbangan, tidak hanya untuk masa pandemi, tapi juga nanti di saat kondisi normal.
Hal ini harus dilakukan agar pemenuhan aspek keselamatan penerbangan terpenuhi dan bisnis penerbangan bisa berkelanjutan sehingga dapat mendongkrak pertumbuhan perekonomian nasional.
Menurutnya, pemerintah tidak seharusnya terpaku dengan jumlah penumpang yang banyak dan meminta maskapai menambah jumlah penerbangan tetapi dengan menjual harga tiket murah, karena hal tersebut sudah terbukti membuat maskapai merugi.
"Jumlah penumpang yang banyak tetapi jumlah penerbangan juga banyak akan menyebabkan tingkat keterisian pesawat menurun dan biaya operasional meningkat. Jika tarif juga rendah, kemungkinan besar maskapai akan rugi," katanya.
Aturan-aturan bisnis yang menunjang efektifitas dan efisiensi operasional penerbangan kemungkinan perlu diperbaiki atau dibuat baru. Aturan terkait tarif (baik untuk penumpang maupun kargo), rute dan slot, serta pola operasional penerbangan nasional dapat diperbarui dengan memperhatikan keseimbangan supply and demand.
Dengan demikian jumlah keterisian pesawat meningkat, tarif sesuai industri serta menghilangkan perang harga (predatory pricing) antar maskapai. Hal-hal yang di luar operasional penerbangan namun berkaitan langsung seperti misalnya pengadaan avtur, bea masuk pesawat dan sparepart serta nilai tukar rupiah perlu dibuat stabil dan meringankan maskapai penerbangan.
"Menteri Perhubungan dapat menjadi jembatan yang aktif untuk mendorong pihak-pihak terkait membantu dalam hal tersebut," katanya.
Advertisement