Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (DJKN Kemenkeu) akan mengelola dua aset Yayasan Supersemar yang disita pada 2018 yaitu Gedung Granadi dan vila di Megamendung. Yayasan ini didirikan oleh Presiden ke-2 Indonesia, Soeharto, dan dinilai telah merugikan negara.
Gedung Granadi dan vila di Megamendung kini menjadi Barang Milik Negara (BMN), sama seperti Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang pengelolaannya telah kembali ke pemerintah.
Baca Juga
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, mengatakan pemerintah memiliki amanah untuk mengelola semua aset negara bagi kemakmuran rakyat.
Advertisement
Oleh sebab itu, aset-aset negara sejatinya memang harus dikelola pemerintah, bukan individu atau sekelompok orang agar tidak disalahgunakan.
"Ini bukan masalah keuntungan saja, Ini kewajiban. Pemerintah itu mengemban amanah untuk mengelola aset-aset keuangan dan kekayaan negara," tutur Piter kepada Liputan6.com pada Sabtu (17/4/2021).
Mengenai keuntungannya, kata Piter, itu semua tergantung pada bagaimana sistem pengelolaannya oleh pemerintah. Namun secara logika, Gedung Granadi dan vila di Megamendung sudah pasti akan menguntungkan.
"Itu pasti akan menguntungkan. Gedungnya diambil alih dan disewakan juga akan untung pemerintah," katanya.
Mengenai mekanisme pengelolaannya, menurut Piter, pemerintah memiliki beberapa opsi yaitu mengelola sendiri, menggandeng Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau pihak swasta.
Terlepas dari itu semua, Piter menekankan agar pemerintah memilih mekanisme pengelolaan yang benar-benar menguntungkan bagi negara.
"Intinya adalah dengan dikelola oleh pemerintah, maka keuntungan dari aset-aset itu menjadi masuk ke pemerintah," jelasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sederet Aset Keluarga Cendana yang Bakal Dikelola Negara
Pemerintah mengambil alih pengelolaan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dari Yayasan Harapan Kita (YHK) milik Keluarga Cendana. Dua tahun sebelumnya, yayasan lain milik Keluarga Cendana juga menjadi sorotan terkait aset-asetnya yang disita oleh pemerintah.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2018 menyita aset Yayasan Supersemar yang didirikan oleh Presiden ke-2 RI, Soeharto, berupa Gedung Granadi di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan.
Selain Itu, PN Jaksel juga menyita vila lain milik yayasan tersebut yang berada di Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Luas tanah di lokasi vila 300 meter persegi.
"(Aset di Megamendung berupa) vila, berbentuk rumah, sudah disita tanah dan bangunannya," ungkap Direktur Pertimbangan Hukum Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (JAM Datun) saat itu, Yogi Hasibuan, di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Rabu (21/11/2018).
Penyitaan vila tersebut berbarengan dengan Gedung Granadi pada November 2018. Selain itu, PN Jaksel juga menyita 113 rekening dengan nilai berkisar Rp 242 miliar milik Yayasan Supersemar.
Yayasan Supersemar digugat oleh Kejaksaan Agung secara perdata pada 2007 atas dugaan penyelewengan dana beasiswa pada berbagai tingkatan sekolah, yang tidak sesuai serta dipinjamkan kepada pihak ketiga.
Pada Maret 2008, Kejaksaan Negeri Jaksel telah mengabulkan‎ gugatan Kejaksaan Agung dan menghukum Yayasan Supersemar untuk membayar ganti rugi kepada pemerintah sebesar USD 105 juta dan Rp 46 miliar. Putusan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada Februari 2009.
Begitu pula pada tingkat kasasi, MA menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI‎ Jakarta pada Oktober 2010. Namun ternyata terjadi salah ketik terkait jumlah ganti rugi yang harus dibayarkan oleh Yayasan Supersemar kepada pemerintah. Jumlah yang seharusnya ditulis sebesar Rp 185 miliar menjadi hanya Rp 185 juta, sehingga putusan itu tidak dapat dieksekusi.
Kejaksaan Agung lantas mengajukan Peninjauan Kembali (PK) pada September 2013. Permohonan tersebut dikabulkan oleh MA dan memutuskan bahwa Yayasan Supersemar harus membayar ganti rugi ke negara sebesar Rp 4,4 triliun.
Sementara untuk kasus TMII, negara merupakan pemilik sah dari kawasan taman wisata budaya tersebut sejak awal. Namun berdasarkan Keputusan Presiden nomor 51 tahun 1977 tanggal 10 September 1977, penugasan dan pengelolaannya dilakukan oleh Yayasan Harapan Kita (YHK). Hingga akhirnya pemerintah kembali mengambil alih agar pengelolaannya agar lebih maksimal.Â
Advertisement
Dikelola Negara
Direktur Barang Milik Negara Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (DJKN Kemenkeu), Encep Sudarwan, mengatakan bahwa Gedung Granadi dan aset vila Megamendung yang disita tersebut akan dikelola oleh DJKN. Hal ini karena keduanya termasuk dalam Barang Milik Negara.
"Gedung Granadi dan aset di Megamendung, sepanjang itu BMN dikelola DJKN," tutur Encep dalam Bincang Bareng DKJN pada Jumat (16/4/2021).
DJKN sebagai pelaksana fungsional atas kewenangan dan tanggung jawab Menkeu selaku pengelola aset negara, dalam hal ini BMN, berwenang menetapkan pemanfaatan BMN yang berada pada pengguna barang yakni kementerian/lembaga (K/L). Pada dasarnya, BMN diperuntukkan sebagai penunjang pelaksanaan tugas dan fungsi K/L.
Pemanfaatan BMN termasuk TMII, merupakan langkah pemerintah dalam mengoptimalisasikan aset sehingga lebih bernilai guna. Dijelaskan Encep, pemanfaatan BMN dapat dilakukan apabila tidak mengganggu pelaksanaan tugas dan fungsi K/L, tidak mengubah status kepemilikan pada BMN yang dimanfaatkan, dapat dilakukan untuk menyediakan infrastruktur dan pemeliharaan BMN tersebut menjadi tanggung jawab mitra pemanfaatan.
Selain itu, biaya atas pemanfaatan BMN disetorkan seluruhnya ke kas negara sebagai penerimaan negara kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang.
"Bentuk pemanfaatan yang dapat dilakukan terhadap BMN yakni sewa, pinjam pakai, kerja sama pemanfaatan (KSP), Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna (BGS/BSG), kerja sama penyediaan infrastruktur (KSPI), Kerja Sama Terbatas untuk Penyediaan Infrastruktur (Ketupi)," kata Encep.
Masing-masing bentuk pemanfaatan memiliki ketentuan sesuai PP 28 tahun 2020 tentang perubahan atas peraturan pemerintah nomor 27 tahun 2014 tentang pengelolaan barang milik negara.Â
Infografis TMII Lepas dari Keluarga Soeharto
Advertisement