Liputan6.com, Jakarta Program restrukturisasi polis PT Asuransi Jiwasraya (Persero) ditargetkan rampung 31 Mei 2021. Pada waktu tersebut, perusahaan asuransi akan melakukan transisi polis dan seluruh aset kepada IFG Life, dan menutup opsi persetujuan bagi para pemegang polis.
Namun, sejauh ini masih ada pemegang polis pada sejumlah kategori yang belum bersedia untuk dilakukan restrukturisasi.
Baca Juga
Ketua Tim Solusi Jangka Menengah Restrukturisasi Polis Jiwasraya Angger P Yuwono menyatakan, program restrukturisasi ini bertujuan agar Jiwasraya tidak mengalami kerugian berlarut, yang itu akan turut berdampak terhadap para pemegang polis.
Advertisement
"Dengan restrukturisasi ini tujuannya apa? Tujuannya adalah menghentikan potensi kerugian yang semakin lama semakin besar di kemudian hari. Kalau tidak dirubah, ini akan merugikan terus," ujarnya dalam sesi diskusi di Jakarta, Senin (19/4/2021).
Berdasarkan progres update restrukturisasi polis per 16 April 2021, Jiwasraya sekitar 91,3 persen atau 15.934 polis bancassurance telah menyetujui program restrukturisasi.
Kemudian sebanyak 76,6 persen atau 1.546 polis korporasi dan 71,9 persen atau setara 131.366 polis ritel juga telah menyetujui program tersebut.
Jumlah itu mengalami kenaikan dari update per 13 April 2021, dimana sekitar 90,3 persen atau setara 15.771 nasabah bancassurance telah setuju dilakukan restrukturisasi.
Sementara pemegang polis korporasi Jiwasraya yang sepakat sebesar 75,3 persen atau 1.520 nasabah, dan polis ritel masih sekitar 65 persen atau setara 127.399 dari total nasabah.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kasus Jiwasraya Harus Jadi Titik Balik Reformasi Industri Asuransi
Manajemen baru PT Asuransi Jiwasraya (Persero) menekankan, masalah gagal bayar di Jiwasraya harus menjadi titik balik dalam reformasi industri asuransi. Ke depan, penerapan framework governance risk compliance (GRC) menjadi penting untuk menjalankan roda bisnis perusahaan ke depan.
Direktur Kepatuhan dan SDM Jiwasraya, R. Mahelan Prabantarikso menyebutkan, sebelumnya Jiwasraya tidak menjalankan manajemen risiko dengan optimal berkaitan dengan unit-unit di perusahaan. Seperti contoh, Jiwasraya pada saat itu menjalankan investasi yang tidak prudent dan terjadi hingga Jiwasraya dinyarakan gagal bayar pada Oktober 2018.
“Kami temukan banyak unit yang manajemen risikonya tidak optimal, misalnya dalam menjalankan investasi tidak prudent. Oleh karena itu penting terdapat framework GRC,” ujar Mahelan, Kamis (15/4/2021).
Mahelan menyebutkan, dengan menerapkan aspek GRC, permasalah yang ada di Jiwasraya ini harus menjadi titik balik dalam reformasi di industri asuransi. Karena mampu menumbuhkan integrasi dan tercegahnya konflik kepentingan.
Adapun penguatan tata kelola juga menjadi sangat krusial untuk dapat menggenjot pertumbuhan industri dengan lebih optimal. "Dampak kasus gagal bayar memengaruhi pertumbuhan penetrasi asuransi jiwa dan menyebabkan risiko reputasi, oleh karena itu reformasi menjadi penting," ujar Mahelan.
Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) II Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Moch Ihsanuddin mengakui, industri asurasni masih menghadapi sejumlah tantangan, dari mulai penetrasi dan densitas hingga kasus gagal bayar di sejumlah perusahaan.
Maka dari itu, OJK menyiapkan tiga fokus penganan di industri asuransi ini. Pertama, berkenaan dengan pendalamaan, root cause. Dengan begitu, pihaknya bisa mengetahui masalah apa saja yang ada di dalam perusahaan. Setelah akar masalah diketahui, OJK bersama dengan perusahaan akan menyusun mekanisme dan mencari solusinya.
“Kami diskusikan bersama dengan manajemen, kalau perlu dengan pemegang saham, salah satunya mempelajari apakah ini masalah baru atau warisan," ungkapnya.
Kedua, OJK akan menerapkan risk based supervision sesuai kondisi masing-masing perusahaan, didukung dengan pengembangan infrastruktur yang memadai.
Ketiga, OJK akan meminta komitmen pemegang saham atau manajemen perusahaan terkait untuk menyiapkan rencana penyehatan keuangan (RPK). Kegiatan penyehatan pun diawasi sesuai waktu penyelesaian yang disepakati perusahaan dengan otoritas.
"Kalau solusinya tidak bisa, regulator kan ada regulasi dan kami punya tanggung jawab. Kami akan jalankan sesuai aturan yang berlaku dan berikan sanksi, surat peringatan, pembatasan kegiatan usaha, ujungnya dicabut [izin usaha] jika tidak bisa diatasi penyebabnya," ujar Ihsanuddin.
Dalam tiga tahun terakhir, terdapat beberapa kasus gagal bayar di indsutri asuransi yang menjadi sorotan. Diantaranya adalah Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912, PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero) atau Asabri dan PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Reformasi asuransi pun menjadi agenda yang perlu didorong, baik oleh otoritas maupun para pelaku industri.
Ihsanuddin menjelaskan bahwa langkah reformasi akan disertai oleh pengembangan kebijakan industri asuransi, yang fokus pada stabilitas, daya saing, dan keberlanjutan bisnis.
Advertisement