Sukses

Banyak Perusahaan Asuransi Alami Gagal Bayar, Apa Sebabnya?

Sejumlah pelaku Industri asuransi di Indonesia mulai mengalami gagal bayar

Liputan6.com, Jakarta Tim Percepatan Restrukturisasi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) mencatat, terjadinya gagal bayar di industri asuransi tanah air, tak terkecuali Jiwasraya, karena tidak optimalnya penerapan manajemen risiko dalam perusahaan. Untuk mengatasi itu, penting adanya prinsip kepatuhan dan tata kelola perusahaan yang baik atau Good Corporate Governance (GCG).

Koordinator Juru Bicara Tim Percepatan Restrukturisasi Jiwasraya yang juga Direktur Kepatuhan dan SDM Jiwaraya, R. Mahelan Prabantarikso menilai, manajemen risiko perlu dioptimalkan sebagai langkah perusahaan asuransi untuk menggolongkan tipe-tipe risiko yang akan terjadi ke depannya.

Dengan adanya manajemen risiko, permasalahan yang muncul akibat dari golongan risiko tersebut bisa cepat teridentifikasi dan segera tertangani dengan efektif.

Dari catatan Mahelan, terdapat sembilan jenis risiko yang mungkin akan dihadapi oleh perusahaan asuransi. Diantaranya: risiko reputasi, risiko kepatuhan , risiko strategis, risiko operasional, risiko hukum, risiko pasar, risiko kredit, risiko asuransi sampai kepada risiko likuiditas.

“Nah, risiko utama yang sedang dihadapi oleh Jiwasraya sendiri adalah risiko asuransi, risiko likuiditas dan risiko reputasi,” terangnya dalam acara Dialog Bisnis Penerapan Good Corporate Governance (GCG) di Industri Asuransi, pada Selasa (27/4/2021).

Seperti yang diketahui, akibat salah kelola asuransi dalam penempatan investasi yang dilakukan oleh manajemen lama Jiwasraya, perusahaan saat ini mengalami tekanan liabilitas (kewajiban perusahaan kepada pemegang polis) yang sampai pada Desember 2020 mencapai Rp 54 triliun. Sehingga ekuitas negatif Jiwasraya tercatat mencapai Rp 38,7 triliun.

Saat ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 44 Tahun 2020 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Lembaga Jasa Keuangan Non Bank (LJKNB). Dengan begitu, kata Mahelan, sudah sepatutnya perusahaan menerapkan manajemen risiko secara efektif.

Menurut Mahelan, cakupan penerapan manajemen risiko yang efektif yakni kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pengendalian dan pemantauan risiko serta sistem informasi manajemen risiko.

Dengan cakupan itu, perusahaan asuransi jiwa secara terukur akan melakukan penempatan investasi dengan maksimal dan penuh kehati-hatian.

“Melalui manajemen risiko ini, perusahaan asuransi jiwa harus tetap memperhatikan return dari aset investasinya dan perlu melakukan penyepadanan antara kewajiban atas produk dengan aset yang dimiliki,” ungkanya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

GCG

Pelaksanaan manajemen risiko akan lebih kuat apabila perusahaan juga menerapkan Good Corporate Governance (GCG). Mahelan bilang, penerapan GCG penting dilaksanaan pada semua aspek bisnis dan jajaran perusahaan. Hal Ini sebagai upaya menjaga obyektifitas dalam menjalankan bisnis.

“Melalui GCG, perusahaan harus mempertanggung jawabkan kinerja secara transaparan dan wajar. Perusahaan harus dikelola secara benar dan terukur serta mematuhi peraturan perundang-undangan dengan melaksanakan tanggung jawab kepada masyarakat dan lingkungan,” ungkanya.

Tak hanya GCG, dibutuhkan juga framework risiko dalam tata kelola perusahaan atau Governance Risk Complience (GRC). Mahelan menilai, perusahaan yang telah mengintegrasikan proses dan teknologi GRC ini akan mendapatkan manfaat dalam meningkatkan kemampuan perusahaan untuk membuat keputusan secara lebih cepat dan tepat.

“Dengan ini, perusahaan juga bisa meningkatkan kemampuan dalam menjalankan proses secara konsisten, serta bisa mengurangi aktivitas yang sama atau duplikasi. Bahkan sampai pada level efisiensi biaya,” ungkapnya.