Liputan6.com, Jakarta Restrukturisasi menjadi langkah yang dipilih untuk menyelesaikan masalah gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Langkah ini merupakan upaya terbaik ketimbang opsi likuidasi.
Restrukturisasi pun dilakukan dengan sebaik-baiknya untuk memastikan portofolio polis yang ditransfer dapat menciptakan keuntungan untuk New Co (perusahaan baru) dalam hal ini yakni IFG Life.
Baca Juga
Wakil Menteri BUMN Kartiko Wirjoatmodjo mengungkapkan, hingga 26 April 2021, sebagian besar pemegang polis telah menyetujui program restrukturisasi polis, dengan rincian sebanyak 82,8 persen polis korporasi, 75,3 persen polis ritel dan 92,9 persen polis Bancassurance.
Advertisement
"Sebagian besar pemegang polis telah menyetujui program restrukturisasi. Selanjutnya terdapat dua skenario yang akan terjadi setelah penawaran restrukturisasi polis," kata Kartiko dalam acara IFG Progress Launching, Rabu (28/4/2021).
Skenario pertama, setelah direstrukturisasi, polis akan dialihkan ke IFG Life untuk dilanjutkan pelayanan, pertanggungan dan pembayaran manfaatnya.
Skenario kedua, setelah Jiwasraya melakukan pengalihan seluruh polis asuransi yang telah direstrukturisasi (termasuk hutang klaim) beserta aset pendukungnya kepada IFG Life, maka selanjutnya Jiwasraya tidak lagi beroperasi sebagai perusahaan asuransi jiwa.
"Jiwasraya akan beroperasi sebagai sebuah Perseroan Tebatas untuk menyelesaikan utang dengan dukungan aset yang tersisa kepada polis-polis yang tidak setuju direstrukturisasi," ujarnya.
Kartiko pun meyakinkan bahwa IFG Life akan memiliki bisnis asuransi yang komprehensif dengan mengandalkan tiga pilar utama bisnisnya yakni pengelolaan bisnis yang didapat dari migrasi polis Jiwasraya, produk baru asuransi IFG Life, serta pengelolaan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK).
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Wamen BUMN Beberkan Tiga Penyebab Utama Gagal Bayar Jiwasraya
Wakil Menteri BUMN Kartiko Wirjoatmodjo menyebutkan bahwa terdapat tiga penyebab utama permasalahan PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Penyebab yang pertama yakni permasalahan fundamental, dimana solvabilitas dan likuiditas Jiwasraya yang sudah terjadi sejak lama, dan tidak diselesaikan dengan solusi yang dapat memperbaiki fundamental perusahaan.
"Kemudian, untuk menyelesaikan masalah solvabilitas secara sementara, dilakukanlah Window Dressing laporan keuangan dengan kebijakan reasuransi dan revaluasi aset sejak 2008 sd 2017. Lalu, untuk menyelesaikan masalah likuiditas, manajemen melakukan penerbitan produk asuransi yang bersifat investasi dan bergaransi bunga tinggi yang buruk bagi perusahaan di masa mendatang," ungkap Kartiko dalam acara IFG Progress Launching, Rabu (28/4/2021).
Penyebab kedua yakni Reckless Investment Activities atau tata kelola yang lemah. Dimana tidak adanya portfolio guideline yang mengatur investasi maksimum pada high-risk asset, sehingga dengan kondisi pasar saat ini, mayoritas aset investasi tidak dapat diperjualbelikan.
Penyebab ketiga adalah tekanan likuiditas dari Produk Savings Plan. Dimana terjadi penurunan kepercayaan nasabah terhadap produk Saving Plan yang akibatnya pencairan polis naik diwaktu yang sama penjualan menurun. Alhasil klaim secara signifikan meningkat ke 51 persen dan terus meningkat hingga 85 persen.
"Tidak ada backup asset yang cukup untuk memenuhi kewajiban dengan Rasio Kecukupan Investasi hanya 28 persen di 2017 dan menyebabkan gagal bayar," ucap dia.
Kondisi tersebut yang menyebabkan terjadinya tekanan likuiditas dan solvabilitas. Hal itu tercermin dalam kondisi keuangan Jiwasraya tahun 2020, dimana terjadi negatif ekuitas mencapai Rp38,6 triliun sementara liabilitas polis naik hingga Rp54,4 triliun yang dikontribusikan dari produk saving plan Rp17 triliun dan non saving plan Rp37,4 triliun.
Advertisement