Sukses

Harga Kedelai Diprediksi Masih Fluktuatif, Bagaimana Nasib Tahu Tempe?

Per 1 Mei 2021 harga kedelai sudah kembali naik menjadi USD 15,52 per gantang.

Liputan6.com, Jakarta - Pada April 2021 lalu, harga kedelai global kembali naik. Seperti disampaikan Kementerian Perdagangan yang melansir data Chicago Board of Trade (CBOT) pada 1 April 2021 lalu, harga kedelai dunia untuk penyediaan April 2021 berada di kisaran USD 14,33 per gantang, terdapat kenaikan harga di kisaran 3,69 persen dari penyediaan Maret 2021 yang sebesar USD 13,82 per gantang.

Bahkan berdasarkan data tradingeconomics.com, per 1 Mei 2021 harga kedelai sudah kembali naik menjadi USD 15,52 per gantang.

Mungkin hal ini tak banyak diketahui oleh para pengrajin kedelai lokal, yang sempat menghentikan produksi tahu dan tempe pada awal tahun ini ketika harga kedelai global mengalami gejolak akibat tingginya permintaan di pasar global.

Tingginya permintaan kedelai dunia menjadi penyebab utama kenaikan harga.Beruntung kenaikan harga yang terjadi kemarin ini tak sampai menimbulkan gejolak harga di dalam negeri.

Pemerintah sendiri telah bekerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan di industri kedelai berkomitmen menjaga harga kedelai impor di tingkat pengrajin tahu dan tempe di kisaran Rp 9.750-Rp9.900 per kg.

Sementara harga di tingkat gudang importir akan dijaga di kisaran Rp9.200-Rp9.300 per kg. Lewat upaya ini maka harga tahu masih terus stabil di kisaran Rp650 per potong dan harga tempe di kisaran Rp16.000 per kg.

“Meski saat ini terjadi sedikit kenaikan harga kedelai dunia, Kemendag menjamin stok kedelai penyediaan April 2021 masih cukup untuk memenuhi kebutuhan industri pengrajin tahu dan tempe nasional dengan harga yang stabil dan terjangkau,” ujar Syailendra.

Menanggapi kenaikan kembali harga komoditas kedelai di pasar global, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah mengatakan, harga kedelai di pasar domestik dipastikan masih akan tetap fragile mengikuti perkembangan dinamika di pasar global.

“Kita sejauh ini masih tergantung pada pasokan kedelai impor, sehingga wajar saja jika harga di pasar domestik masih akan fragile (terhadap kenaikan harga, red),” ujar Rusli dalam pernyataannya Senin (3/5/2021).

Menurut Rusli, penggunaan dan konsumsi kedelai hasil impor sejauh ini masih menjadi pilihan karena sejumlah faktor yang mempengaruhi. Salah satunya adalah rendahnya minat para petani untuk mengembangkan kedelai di lahan mereka, lalu perbedaan kualitas kedelai yang diproduksi di Tanah Air dibandingkan kedelai impor untuk dijadikan produk akhir seperti tahu dan tempe.

Rusli sepakat bahwa Indonesia harus mengendalikan ketergantungan pada kedelai impor. Sehingga dibutuhkan sejumlah langkah strategis untuk memperluas budi daya kedelai di Tanah Air, dan berikutnya mengurangi tingkat ketergantungan pasar domestik terhadap kedelai impor.

Apalagi sejumlah penelitian telah mampu menghasilkan varietas-varietas kedelai unggul yang bisa ditanam di dalam negeri, dan tidak berbeda dengan kualitas kedelai impor.

“Namun untuk bisa switching atau beralih dari produk impor ke produk lokal, kita membutuhkan jalan yang panjang. Banyak sekali yang harus dikerjakan pemerintah. Misalnya menyiapkan lahan, membuat petani berminat terhadap komoditas, menciptakan harga yang sesuai, termasuk persoalan tata niaga. Dibutuhkan waktu tak sebentar untuk mengurainya, dan memulai produksi kedelai lokal secara masif,” kata Rusli.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Baku Kedelai

Untuk menghindari risiko fluktuasi harga yang signifikan dan berdampak pada para pengrajin bahan pangan berbahan baku kedelai, maka pemerintah harus menyiapkan solusi jangka pendek.

Menurut Rusli, sebagai solusi jangka pendek, pemerintah harus mengamakan pasokan kedelai dari negara-negara pengimpor yang memiliki komitmen tinggi.

“Pemerintah juga harus melakukan diversifikasi sumber impor. Misalnya ke Uruguay, atau Brasil, atau India, agar pasokan kedelai untuk pasar lokal tetap terjamin,” ujarnya.

Terkait masih stabilnya harga produk kedelai dalam negeri di tengah kenaikan harga di pasar global, Rusli meyakini hal itu bisa terjadi karena pasokan kedelai domestik masih terselamatkan oleh kontrak pembelian untuk dua atau tiga bulan ke depan.

“Nah sekarang harus cepat-cepat membuat agreement kontrak jangka panjang, kalau bisa untuk setahun ke depan. Atau setidaknya sampai akhir tahun ini,” imbuhnya.

Ia pun memprediksi, di tengah perebutan vaksin oleh banyak negara di seluruh dunia demi menghentikan pandemi Covid-19 dan membangkitkan perekonomian, akan diikuti oleh upaya pengamanan pasokan pangan di masing-masing negara. Sehingga bisa diperkirakan, kata Rusli, pasokan komoditas pangan termasuk kedelai di pasar global akan tersendat dalam periode tertentu.

“Jadi pemerintah harus cepat, minimal lewat future trading mengamankan pasokan minimal sampai akhir tahun ini,” kata Rusli.

Pemeirntah pun dipastikan punya kepentingan besar untuk menjamin ketersediaan komoditas kedelai di dalam negeri. Pasalnya kedelai selama ini telah menjadi bahan pengganti protein hewani yang bisa didapat dengan harga lebih murah.

“Pemerintah juga berkepentingan untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, yang salah satunya bisa dipenuhi lewat protein nabati. Kebutuhan gizi yang cukup sangat dibutuhkan selama pandemi, ini terkait lagi dengan ketahanan tubuh masyarakat di saat pandemi,” tambah Rusli.

Masih menurut Ruslli, solusi jangka pendek ini harus cepat dilaksanakan oleh pemerintah, sambil terus melanjutkan segala upaya untuk mencapai rogram swasembada kedelai yang tentunya membutuhkan waktu tak sebentar.

Sekedar informasi, sejak triwulan IV 2020, telah terjadi kenaikan harga kedelai hingga 40 persen. Pada November 2020 harga kedelai di pasar global tercatat USD 10,5 per gantang. Sementara pada awal April 2021 harga kedelai mencapai USD 14,33 per gantang. Kenaikan kembali terjadi memasuki 1 Mei 2021, menjadi USD 15,52 per gantang.