Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah terus berupaya untuk melakukan transisi energi dari fosil ke energi baru terbarukan (EBT). Pada 2025, pemerintah menargetkan penggunaan EBT mencapai 23 persen.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengatakan, ada beberapa upaya pemerintah dalam meningkatkan porsi sektor EBT di Indonesia yang telah diterapkan, seperti pengembangan biodiesel, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) co-firing dan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di Indonesia.
Baca Juga
Selain untuk meningkatkan ketahanan energi, pengembangan EBT juga ditujukan untuk menurunkan emisi karbon di Indonesia sesuai dengan perjanjian Paris Agreement tahun 2015 lalu.
Advertisement
“Indonesia sudah bergabung untuk upaya penurunan gas rumah kaca (GRK) ini. Pada tahun 2015, Presiden Joko Widodo hadir di Paris Agreement dan menyampaikan komitmennya menurunkan emisi GRK hingga 29 persen di tahun 2030,” kata Dadan dalam diskusi The Ensight bertema Sovereign Wealth Fund: Mewujudkan Pendanaan Berkelanjutan dalam Meningkatkan Ketahanan Energi, Sabtu (8/5/2021).
Kemudian, upaya lain dalam meningkatkan porsi EBT adalah dengan melakukan transisi energi yang juga dengan mempertimbangkan realitas kebutuhan energi, dengan nilai keekonomian yang wajar. Oleh karena itu, peralihan dari energi fosil menjadi EBT sangat diperlukan.
“Sekarang kita mempercepat upaya transisi energi untuk menggeser dari pemanfaatan energi fosil menjadi pemanfaatan energi terbarukan. Ini tidak hanya berdasarkan aspek ketahanan energi saja tapi juga berdasarkan siklus kegiatan ekonomi karena akan selalu diperhitungkan agar bisa bersaing,” ujar Dadan.
Dadan menjelaskan, dalam upaya transisi pemanfaatan energi fosil ke EBT, maka penggunaan panel surya termasuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Indonesia perlu dipercepat. Menurutnya, saat ini pemerintah tengah gencar dalam pengembangan teknologi panel surya sebagai salah satu sumber energi yang terbarukan.
“Proyek yang sekarang kami dorong untuk mendapatkan investasi adalah PLTS atap skala besar. Selain itu, nanti PLTS terapung juga akan ditingkatkan, karena kita juga punya banyak waduk, punya banyak bendungan, ini mudah karena tidak perlu membebaskan lahan. Di beberapa tempat di Jawa ini potensinya bisa sampai 2 Giga Watt di 13 lokasi,” ungkap Dadan.
Selain itu, Dadan mengungkapkan, upaya pemerintah meningkatkan porsi EBT di Indonesia adalah dengan mengubah teknologi pembangkit yang ada, kepada energi terbarukan.
“Jadi ini yang juga kita lakukan mendorong pembangkit yang ada untuk beralih dari energi fosil ke EBT, jadi bukan buat baru pembangkitnya, sekarang jadi dorongannya juga adalah bagaimana nanti ke depan pengembangan energi terbarukan melaksanakan efisiensi energi termasuk konservasi energi dan penerapan teknologi yang bersih,” tegas Dadan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tantangan Perkembangan EBT di Indonesia
Namun demikian, Dadan juga tidak memungkiri terdapat beberapa hambatan dan tantangan dari sisi pembiayaan yang terjadi di Indonesia dalam mengembangkan efisiensi energi dan transisi ke energi yang lebih bersih.
“Tantangan yang pertama adalah tarif rendah atau menciptakan iklim investasi yang menarik,” ujarnya.
Tantangan lain, lanjut Dadan adalah bunga pinjaman yang tinggi, kemudian persyaratan agunan tinggi, tidak adanya pendanaan proyek, proyek berukuran kecil dan meningkatkan biaya transaksi, serta kapasitas pengembang proyek dan lembaga keuangan masih terbatas.
“Kemudian juga persyaratan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Bukan kami tidak mendukung TKDN, tetapi ini menjadikan harga komponen lebih mahal dibandingkan impor, yang terakhir adalah hambatan perizinan dan lisensi,” pungkas Dadan.
Pendanaan Energi Baru Terbarukan
Sementara itu, Dewan Pengawas Indonesia Investment Authority (INA) Darwin Cyril Noerhadi mengatakan, kehadiran INA atau juga dikenal sebagai Lembaga Pengelola Investasi (LPI) diharapkan bisa menjadi mitra utama dalam menjembatani kebutuhan pembiayaan dalam meningkatkan penggunaan EBT di Indonesia yang selama ini menjadi masalah yang krusial.
Sebab, menurut Cyril, kebutuhan dana untuk pembangunan infrastuktur, termasuk ketenagalistrikan sangat besar, dan tidak cukup hanya mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saja.
“Kebutuhan dana pembangunan infrastruktur begitu besar dan yang jelas tidak cukup dana itu bersumber hanya dari pemerintah,” kata Cyril dalam diskusi The Ensight.
Menurutnya, dengan itu pemerintah melalui Undang-Undang Cipta Kerja membentuk Indonesia Investment Authority (INA) atau Lembaga Pengelola Investasi (LPI).
Cyril menjelaskan, INA sebagai salah satu lembaga pelaksana investasi pemerintah diberikan beberapa kewenangan, yakni berwenang mengelola investasi, kemudian berwenang merencanakan, mengatur, mengawasi, mengendalikan, dan mengevaluasi kegiatan investasi. Pihaknya juga berupaya untuk menjadi mitra yang strategis dalam menarik dana investor asing untuk berinvestasi di Indonesia dan juga meningkatkan iklim investasi di Indonesia.
Sebab, kata Cyril lembaga ini memiliki struktur organisasi yang professional dan memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang memang ahli dalam bidang keuangan, utamanya dalam hal investasi.
Kedepan kata Cyril, terdapat beberapa sektor investasi jangka menengah dan jangka panjang yang akan dievaluasi oleh INA, mulai dari sektor infrastuktur, pelayanan kesehatan, konsumer, teknologi, infrastuktur digital, logistik, waste management, turisme, dan termasuk juga renewable energy.
“Pada tahapan awal ini, kami INA diberikan setoran modal awal sebesar Rp 15 triliun dan akan naik pada tahun depan menjadi Rp 75 triliun, ini diberikan untuk meningkatkan prinsip tata kelola dan operasionalisasi lembaga,” ungkap Cyril.
Advertisement
Beri Harapan Baru
Sementara itu, Ketua Dewan Pengawas PYC, Inka B. Yusgiantoro mengatakan, diskusi bertema Sovereign Wealth Fund: Mewujudkan Pendanaan Berkelanjutan dalam Meningkatkan Ketahanan Energi dilakukan agar masyarakat lebih memahami mengenai peran INA dalam perkembangan energi terbarukan di Indonesia.
Menurut Inka, kehadiran INA akan memberi harapan dan semangat baru bagi Indonesia khususnya untuk dapat membantu mobilisasi dana dari dalam maupun luar negeri untuk dimanfaatkan dalam berbagai kesempatan investasi yang ada di Indonesia, termasuk di sektor energi baru dan terbarukan (EBT).
Sebab, kata Inka, selama ini pengembangan dan pemanfaatan EBT di Indonesia cukup terhambat akibat dari sulitnya mendapatkan pembiayaan proyek EBT itu sendiri.
“Kami melihat bahwa salah satu penyebab terhambatnya pertumbuhan sektor EBT di Indonesia selama ini adalah sulitnya mendapatkan pembiayaan untuk proyek EBT. Sehingga salah satu harapan pemangku kepentingan Indonesia untuk alternatif sumber pembiayaan adalah melalui INA,” ujar Inka saat membuka diskusi The Ensight di Purnomo Yusgiantoro Center, Jakarta.