Liputan6.com, Jakarta - Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo merasa keberatan tidak dilibatkanya pemerintah dalam diskusi mengenai kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dinisiasi oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef).
Seperti diketahui, siang ini Indef menyelenggarakan sebuah diskusi virtual dengan mengangkat tema "PPN 15 Persen Perlukah di Masa Pandemi?". Adapun beberapa narasumbernya berada di luar dari pemerintahan.
Baca Juga
"Dear @IndefEconomics, kok bisa bilang 15 persen ini sumbernya apa atau siapa? Lalu kenapa tak hadirkan narsum dari @DitjenPajakRI atau @BKFKemenkeu untuk informasi lebih lengkap dan seimbang?," ujarnya seperti dikutip dari akun twitternya @prastow Selasa (11/5).
Advertisement
Mengawali diskusi, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad pun menjelaskan bahwa tidak terlibatnya pemerintah karena memang diskusi ini sudah disiapkan matang jauh-jauh hari.
Pihaknya pun membuka kesempatan kembali berdiskusi dengan melibatkan pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak.
"Kenapa kami tidak mengundang teman-teman Ditjen Pajak mudah-mudahan karena acara ini sudah dipersiapkan jauh-jauh hari mudah-mudahan tidak menghormati respect kami kepada teman-teman Ditjen Pajak untuk memberikan penjelasan mungkin di lain kesempatan ada forum lanjutan atau diskusi lanjutan. Saya kira kami tidak masalah jadi menurut saya ini cukup adil giliran pertama mungkin ini Indef, mungkin forum berikutnya tidak ada masalah," jelasnya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tarif PPN Bakal Naik, Pemerintah Siap Ajukan Draf ke DPR
Pemerintah akan segera mengajukan revisi aturan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam revisi ini, tarif PPN yang dibebankan ke konsumen dapat lebih tinggi dari tarif biasanya yakni 10 persen.
“Tarif PPN pemerintah masih lakukan pembahasan dan dikaitkan dengan UU yang akan diajukan ke DPR terkait dengan RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), dan ini seluruhnya akan dibahas oleh pemerintah nanti pada waktunya akan disampaikan,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers, Rabu (5/5/2021).
Meski begitu, Airlangga belum menjelaskan lebih detail berapa kenaikan PPN yang akan dibebankan kepada konsumen. Sebab rencana ini masih dalam tahap pembahasan dan pengkajian secara internal.
Rencana kenaikan tarif PPN ini pun bertolak belakang dengan keinginan Institute for Development of Economics and Finance (Indef). Ekonom Indef, Bhima Yudhistira justru meminta, pemerintah untuk menanggung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen untuk produk-produk ritel di Tanah Air. Sebab, dengan ditanggungnya PPN, maka daya beli masyarakat akan kembali tumbuh.
"Sekarang demand langsung dirasakan bagi konsumen itu salah satunya PPN. Makanya ini PPN 10 persen itu ditanggung lah," ujarnya dalam webinar Pemulihan Ekonomi untuk Sektor UMKM Nasional, secara virtual, Rabu (28/4/2021)
Advertisement
Subsidi PPN
Dia mengatakan, jika pemerintah tidak bisa menanggung full 10 persen, paling tidak ada penurunan tarif PPN. Dari 10 persen menjadi 5 persen. "Besarannya berapa kita bisa diskusi karena berkaitan dengan rasio pajak, berkaitan dengan defisit pemerintah nanti seperti apa," ujarnya.
Bima berharap dengan adanya pengurangan PPN masyarakat yang berbelanja di ritel akan meningkat. Sebab, secara otomatis harga yang akan diterima oleh masyarakat jauh lebih murah dari sebelumnya.
"Orang belanja makanan minuman itu langsung liat di struk PPN-nya kuranag nih, akhirnya harga diterima konsumen lebih murah. Jadi itu satu hal insentif perpajakan yang mungkin jangka pendek penting adalah PPN ditanggung pemerintah," ujarnya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com