Liputan6.com, Jakarta Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengkritisi rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada 2022 mendatang. Kebijakan tersebut bahkan dianggap dapat berdampak terhadap banyaknya aksi pemutusan hubungan kerja (PHK).
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perdagangan Benny Soetrisno menilai, tarif PPN yang naik jadi 15 persen jelas akan menekan angka penjualan lantaran akibat adanya penurunan daya beli masyarakat.
Baca Juga
"Kalau PPN dinaikan akan mendongkrak harga jual sekaligus menurunkan volume penjualan, serta akan berimbas pada volume produksi menurun," kata Benny kepada Liputan6.com, Selasa (18/5/2021).
Advertisement
Buntutnya, dia mengutarakan, tarif PPN yang melonjak tersebut secara tidak langsung bakal berdampak terhadap aksi PHK oleh sejumlah perusahaan di bidang perdagangan.
"Imbas pada volume produksi menurun atau utilisasi kapasitas terpasang turun, mengakibatkan pengurangan tenaga kerja," terang Benny.
Benny lantas mengimbau pemerintah agar tidak terlalu terburu-buru mewacanakan kenaikan tarif PPN, meski implementasinya baru akan dilakukan tahun depan. Sebab, pandemi Covid-19 sejauh ini masih belum bisa diprediksi kapan akan benar-benar berakhir.
"Belum ada satu yang bisa bilang kapan berhentinya Covid-19. Sepanjang masih ada ancaman Covid-19 saya kira insentif ekonomi juga terbatas," ujar Benny.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Rencana Kenaikan Tarif PPN Jadi Blunder di Masa Pemulihan Ekonomi
Pemerintah berencana menaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 15 persen pada 2022 mendatang. Kenaikan tarif pajak ini disebut-sebut untuk mendorong target penerimaan negara melalui pajak pada tahun depan.
Namun, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, wacana kenaikan tarif PPN ini seolah bertentangan dengan upaya pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang kini marak digaungkan pemerintah.
"Kebijakan kenaikan tarif PPN sepertinya blunder bagi pemulihan ekonomi. Sekarang kan sedang tahap konsumsi bangkit, kepercayaan mulai berangsur mencapai optimisme, tapi pemerintah sudah keburu mau naikan PPN," ujarnya kepada Liputan6.com, Selasa (18/5/2021).
"Itu jelas tidak sinkron dengan kebijakan PEN. Biarkan dulu konsumsi tumbuh solid bukan hanya saat lebaran tapi paska lebaran di kuartal ke III dan ke IV," tegas Bhima.
Di sisi lain, Bhima menambahkan, tujuan pemerintah mempertinggi tarif PPN guna megatasi ketimpangan di level wajib pajak. Tapi beberapa waktu lalu, pemerintah baru saja bagi bagi diskon pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk beli mobil yang notabene konsumsi kelas menengah ke atas.
"Banyak kebijakan yang kontradiksi. Menjadi membingungkan bagi pelaku usaha termasuk UMKM," sebut Bhima.
Advertisement