Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno menilai, saat ini, rencana untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak tepat.
Menyusul mayoritas pelaku usaha sektor pariwisata dan ekonomi kreatif tengah dihadapkan pada kondisi ekonomi sulit akibat dampak pandemi Covid-19.
Baca Juga
"Pendapat saya terutama dari sisi ekonomi kreatif, peningkatan PPN tersebut terutama bagi para pelaku pariwisata ekonomi kreatif yang sekarang sedang mengalami kesulitan, kami merasa dari segi timing belum tepat waktunya," tegasnya ucapnya dalam acara Weekly Press Briefing, Selasa (18/7)
Advertisement
Sandiaga menyampaikan, untuk saat ini, sebaiknya pemerintah harus mendengarkan dulu masukan dari pelaku usaha di sejumlah sektor yang terdampak parah pandemi Covid-19. Termasuk pelaku usaha di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.
"Karena, jika tidak maka dunia usaha ini akan semakin terbebani. Dan akhirnya bisa berakibat pemutusan hubungan kerja (PHK) yang tidak bisa di elakkan lagi," bebernya.
Oleh karena itu, dia meminta, rencana kenaikan PPN ini akan mengecualikan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. Dengan begitu, gelombang PHK bisa dicegah di masa kedaruratan kesehatan ini.
"Jadi, harapan kita itu bisa dipertimbangkan khusus bagi sektor kami di pariwisata dan ekonomi kreatif," ujarnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Rencana Kenaikan Tarif PPN Belum Dibahas Antar Kementerian
Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sejak beberapa hari terakhir menarik perhatian. Sejauh ini, pembahasannya masih menjadi wacana internal di Kementerian Keuangan.
Hal ini diungkapkan oleh Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso.
"Intinya kita menghormati pembahasan wacana internal di Kemenkeu. Namun memang belum ada rapat koordinasi antar kementerian untuk saat ini," ungkap Susiwijono pada Senin (17/5/2021).
Menurut Susiwijono, pihaknya akan segera meminta penjelasan terkait hal ini kepada Kemenkeu jika memang sudah ada rencana pasti. Pasalnya, kebijakan ini akan berpengaruh kepada semua sektor.
Kemenko Perekonomian berjanji akan memberikan penjelasan lebih rinci tentang rencana kenaikan tarif PPN ini pada Rabu 19 Mei 2021.
"Kami masih ada satu, dua hari ini diskusikan dengan Kemenkeu. Nanti Rabu, kita jelaskan lengkapnya," kata Susiwijono.
Sebelumnya, Anggota Komisi XI DPR, Kamrussamad, mengatakan rencana menaikkan tarif PPN 15 persen di tengah kelesuan daya beli masyarakat, menunjukkan kegagalan Kementerian Keuangan mengelola fiskal negara.
Ia mengibaratkan rencana ini seperti berburu di kebun binatang yang sedang sakit.
Hal tersebut disampaikan Kamarussamad menanggapi adanya wacana kenaikan tarif PPN dari saat ini 10 persen menjadi 15 persen, sebagai upaya mendorong penerimaan negara dari pajak.
Advertisement
Tarif PPN Naik, Siap-Siap Harga Barang Makin Mahal
Pemerintah berencana menaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada 2022. Kenaikan tarif pajak ini disebut-sebut untuk mendorong target penerimaan negara melalui pajak di tahun depan.
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN RI), Rizal Edy Halim mengatakan, jika pemerintah menaikan tarif PPN maka dampaknya besar kepada masyarakat. Sebab kenaikan tersebut secara otomatis akan berimbas kepada naiknya harga barang dan jasa di seluruh Indonesia, meningkatkan resiko turunnya daya beli masyarakat.
"Kalau ada penyesuaian tarif PPN dari 10-15 persen maka tentunya akan terjadi kenaikan harga barang karena PPN dibayarkan oleh konsumen dibebankan kepada konsumen maka harga barang itu akan semakin menekan daya beli," ujarnya dalam sebuah diskusi virtual bertajuk PPN 15 Persen, Perlukan di Masa Pandemi?, Selasa (11/5).
Seperti diketahui, berdasarkan Undang-Undang PPN Pasal 7 pemerintah bisa mengatur perubahan tarif PPN paling rendah berada pada angka 5 persen dan paling tinggi 15 persen. Adapun saat ini, tarif PPN berlaku untuk semua produk dan jasa, yakni 10 persen
Dia menambahkan, jika pemerintah tetep ingin berencana melakukan kenaikan tarif PPN maka masyarakat semakin tertekan. Pun jika terjadi kenaikan inflasi yang diharapkan pemerintah hanya bersifat semu saja.
"Inflasi ini sama dengan yang di Arab Saudi. Ada inflasi tapi bukan karena ada permintaan. Ini akan menekan pertumbuhan ekonomi. Saya juga agak ragu kalau itu dilakukan kita akan kembali seperti optimisme di kuartal I," jelasnya.
Oleh karena itu, dia BPKN memandang rencana atau pemberlakukan tarif PPN akan mempengaruhi secara keseluruhan kontribusi konsumsi masyarakat. Apalagi saat ini masyarakat masih dalam situasi yang sulit imbas dari pandemi Covid-19.
"Pemerintah seharusnya memberikan perlindungan ekonomi dan sosial kepada masyarakat di tengah situasi saat ini. Tetapi yang terjadi adalah secara sadar kita melihat banyak kebijakan-kebijakan sektoral yang seolah-olah tidak dilakukan koordinasi kebijakan di tingkat atas," pungkasnya.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad menambahkan, rencana pemerintah untuk menaikan PPN di 2022 menjadi persoalan serius. Sebab, hal ini menyangkut hajat hidup masyarakat.
"Saya kira ini menjadi titik penting agar keputusan nasib masyarakat terutama kelompok menegengah ke bawah harus perlu didikusikan sehingga keputusan diambil pemerintah lebih arif," ujarnya.Â