Sukses

Pengamat Minta Pemerintah Tak Lembek Tagih Utang Lapindo

Secara rinci pemerintah mencatat hingga 31 Desember 2019, total pokok utang Lapindo Brantas dan Minarak sebesar Rp 773,38 miliar.

Liputan6.com, Jakarta - Penanganan kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur masih menyisakan persoalan hingga saat ini. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat Lapindo Brantas Inc (LBI) dan PT Minarak Lapindo Jaya belum melunasi utang ke pemerintah.

Utang tersebut berupa dana talangan penanggulangan lumpur, yang telah jatuh tempo pada 10 Juli 2019 lalu. Karena itu, negara tak boleh lembek alias perlu tegas agar sisa tagihan bisa dilunasi.

Pengamat Ekonomi Politik Cecep Handoko menyataka, bila pemerintah serius ingin mengambil aset milik Bakrie Group butuh proses putusan pengadilan. Negara tidak serta merta bisa mengambil aset tersebut seperti Taman Mini Indonesia Indah (TMII) milik keluarga Cendana.

"Kasus Lapindo ini beda sama kayak TMII. Kalau Lapindo soal hutang piutang antara negara dengan Group Bakrie. Nah itu harus sesuai putusan pengadilan," kata dia, Selasa (18/5/2021).

Harusnya, kata Cecep, negara saat memberi talangan di kasus Lapindo mempertimbangkan apa LBI dan Minarak dan punya aset untuk menjamin hutangnya bisa dikembalikan ke negara.

Ke depan, pemerintah harus lebih selektif dalam memberikan dana talangan sehingga tidak bingung lantaran aset yang dimiliki tidak bisa menutup utang.

Diketahui, kasus lumpur Lapindo yang menyembur di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, pada 29 Mei 2006 lalu, mengakibatkan 16 desa di tiga kecamatan tenggelam dan setidaknya 30 pabrik ditutup.

Bencana tersebut terjadi karena sebelumnya terdapat aktivitas pengeboran di sawah Porong oleh LBI. Dalam laporannya, BPK menyebut LBI terindikasi sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh atas kerugian yang ditimbulkan oleh semburan lumpur.

Secara rinci pemerintah mencatat hingga 31 Desember 2019, total pokok utang Lapindo Brantas dan Minarak sebesar Rp 773,38 miliar, total bunga Rp 163,95 miliar, dan denda Rp 981,42 miliar. Sementara pembayaran dilakukan pada Desember 2018 sebesar Rp 5 miliar, sehingga total utang Lapindo Brantas dan Minarak sebesar Rp 1,91 triliun.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Soal Utang Lapindo, Kemenkeu: Pemerintah akan Terus Tagih Sesuai Perjanjian

Kewajiban anak usaha Lapindo Brantas Inc, PT Minarak Lapindo, kepada pemerintah terkait penanggulangan bencana lumpur, hingga kini belum juga dipenuhi. Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, mengatakan, pemerintah masih terus berusaha menagih kewajiban Lapindo.

"Sampai dengan saat ini belum terdapat pembayaran dari pihak LBI/PT LMJ. Pemerintah akan terus melakukan penagihan kepada LBI/PT LMJ sesuai perjanjian yang disepakati," ujarnya Selasa (18/5/2021).

Terkait penanggulangan bencana lumpur, pada Maret 2007 perusahaan tersebut memperoleh pinjaman Rp 781,68 miliar, namun utang yang ditarik dari pemerintah sebesar Rp 773,8 miliar.

Mengutip hasil audit BPK tahun 2019, pemerintah mencatat hingga 31 Desember 2019, total utang Lapindo Brantas dan Minarak kepada pemerintah sebesar Rp 1,91 triliun.

Sesuai kesepakatan antara pihak Lapindo dengan pemerintah, seharusnya utang tersebut harus sudah dilunasi pada 2019 lalu. Namun kenyataannya hingga kini, pihak Lapindo belum juga memenuhi kewajibannya. Walaupun demikian, menurut Yustinus Prastowo, saat ini belum waktunya membicarakan langkah lanjutan.

"Mungkin langkah dan upaya lanjutan nanti saja, kita fokus mendorong supaya ada pembayaran," katanya.

Menurutnya, belum perlu dibicarakan upaya lanjutan terkait upaya penagihan utang pihak Lapindo, karena pemerintah masih percaya itikad baik perusahaan tersebut.

"Pemerintah tetap percaya pihak LBI/PT LMJ akan kooperatif dan bersedia menunaikan kewajiban sesuai ketentuan," ujarnya.Â