Liputan6.com, Jakarta Rencana pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II dinilai akan menimbulkan dampak yang negatif terhadap ekonomi Indonesia. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira meminta pemerintah mencari solusi lain untuk menaikkan penerimaan negara selain lewat tax amnesty.
"Tax amnesty menciptakan ketimpangan antara orang kaya dan miskin," kata Bima di Jakarta, Kamis (20/5/2021).
Faktanya bahwa selama pandemi Covid1-9 sudah banyak kebijakan yang pro terhadap korporasi seperti penurunan tarif PPh badan dari 25 persen menjadi 20 persen bertahap hingga 2022, sampai Diskon PPnbm untuk mobil. Sementara bagi masyarakat umum mau dinaikan pajak PPN nya.
Advertisement
"Jadi kebijakan tax amnesty sangat membahayakan ketimpangan paska Covid-19. Perlu dicatat rasio gini mulai menanjak ke 0,385 per 2020 dengan kelompok 20 persen teratas atau orang kaya porsi pengeluarannya justru naik ke 46,2 persen dari posisi 45,3 persen dalam periode setahun lalu," jelas dia.
Tax amnesty dinilai tidak terbukti meningkatkan penerimaan pajak jangka panjang. Hal ini tercermin periode 2018-2020 rasio pajak terus menurun hingga mencapai 8,3 persen.
Rasio pajak atau rasio penerimaan pajak terhadap PDB bukannya naik malah melorot terus. "Berarti ada yang tidak beres dengan tax amnesty," tegasnya.
Menurutnya kepercayaan pembayar pajak bisa turun karena tax amnesty harusnya diberikan sekali sesuai janji pemerintah tahun 2016, setelah periode tax amnesty selesai maka selanjutnya penegakan aturan perpajakan.
Dengan adanya tax amnesty jilid ke II, psikologi pembayar pajak pastinya akan menunggu tax amnesty jilid berikutnya. "Ya buat apa patuh pajak, pasti ada tax amnesty berikutnya. Ini blunder ke penerimaan negara," tegas dia.
Di samping itu, pemberian tax amnesty juga rawan digunakan untuk pencucian uang lintas negara, atas nama pengampunan pajak perusahaan yang melakukan kejahatan keuangan bisa memasukkan uang ke Indonesia. Terlebih saat ini rawan pencucian uang dari kejahatan korupsi selama pandemi Covid-19.
"Pemerintah seharusnya lakukan kebijakan untuk mengejar pajak mereka yang tidak ikut tax amnesty 2016 lalu. Sudah lengkap data tax amnesty jilid I, kemudian ada Pertukaran Pajak antar Negara (AEOI) dan dokumen internasional Panama Papers hingga Fincen Papers. Idealnya dari database yang sudah ada dikejar para pengemplang pajak, bukan memberikan pengampunan berikutnya. Ini menunjukkan arah kebijakan fiskal yang gagal," pungkas Bima.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Ini
DPR: Tax Amnesty Belum Perlu
Ketua Banggar DPR RI, Said Abdullah menyayangkan, langkah pemerintah yang berkeinginan untuk merevisi Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) dan tata cara perpajakan. Seperti diketahui, salah satu poin pembahasannya dalam revisi tersebut ialah pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II
"Pemerintah seharusnya tidak bicara lagi soal tax amnesty jilid II. Permasalahannya pada tax amnesty jilid I 2016," jelasnya di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (20/5/2021).
Menurut hematnya, dalam kerangka konsolidasi kebijakan fiskal dan berkelanjutan di 2022 tidak perlu mengambil langkah kebijakan tax amnesty. Sebab di berbagai negara dalam setiap lima tahun tidak ada sama sekali masalah.
"Dan itu artinya tidak dianggap tidak governance, dan tidak mendorong petugas pajak extra effort-nya, tidak boleh dilakukan," jelasnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta DPR untuk merevisi Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) dan tata cara perpajakan.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, dalam permintaan revisi tersebut, salah satu poin pembahasannya ialah pengampunan pajak atau tax amnesty.
"Yang diatur memang ada di dalamnya PPN, termasuk PPh orang per orang, pengurangan tarif PPh Badan dan terkait PPN barang/jasa, PPnBM, UU Cukai, dan terkait carbon tax, lalu ada terkait dengan pengampunan pajak," ujar Airlangga dalam konferensi pers, Rabu (19/5).
Â
Advertisement