Liputan6.com, Jakarta - Rencana pengampunan pajak atau tax amnesty julid II mendapat kritikan dari berbagai pihak, mulai dari ekonom hingga Dewan Perwakilam Rakyat (DPR).
Terkait rencana ini, Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, mengungkapkan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, yang akan menjelaskan soal tax amnesty jilid II tersebut.
Baca Juga
Yustinus pun enggan memberikan komentar mengenai alasan pemerintah menghadirkan tax amnesty jilid II.
Advertisement
"Nanti pada saatnya Menteri Keuangan akan menjelaskan setelah bertemu dengan DPR, ditunggu saja. Saya rasa tidak sekarang komentarnya," ungkap Yustinus saat dihubungi Liputan6.com pada Jumat (21/5/2021).
Mengenai pertemuan Sri Mulyani dengan DPR, kata Yustinus, akan dilakukan secepatnya. Kemungkinan besar pertemuan tersebut akan digelar pada pekan depan.
"Nanti akan dikabari dalam waktu secepatnya. Iya minggu depan sama DPR, nanti kita cek lagi," tutur Yustinus.
Diketahui sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meminta DPR untuk merevisi Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) dan tata cara perpajakan. Dalam permintaan revisi tersebut, salah satu poin pembahasannya ialah pengampunan pajak atau tax amnesty.
Tax amnesty jilid II tersebut diharapkan segera disetujui oleh DPR karena masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2021.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kritik Pengamat: Tax Amnesty Jilid II Bikin Wajib Pajak Makin Tak Taat
Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia mengaku tidak sependapat dengan rencana Presiden Joko Widodo yang ingin kembali melakukan pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II. Secara teori tax amnesty seharusnya hanya diberikan sekali seumur hidup.
Direktur Riset CORE, Piter Abdullah mengatakan, jika tax amnesty diberikan berulang kali maka akan kehilangan maknanya dan juga kredibilitas pemerintah. Sebab tax amnesty yang tadinya dimaksudkan untuk meningkatkan kepatuhan justru akan membuat wajib pajak semakin tidak taat.
"Saya meyakini teori ini. Oleh karena itu saya sangat tidak sependapat dengan rencana tax amnesty jilid II," ujarnya kepada merdeka.com, Jumat (21/5/2021).
Sementara itu, Ekonom CORE Indonesia, Yusuf Rendy mengatakan, kebijakan tax amnesty ini seringkali dipergunakan sebagai salah satu bentuk dari reformasi pajak. Karena dari program tax amnesty pemerintah bisa memperbaharui database perpajakan mereka.
"Dan umumnya, tax amnesty dilakukan satu sekali saja, kalaupun lebih dari satu kali, dilakukan dalam range waktu yang panjang," jelasnya.
Dengan adanya wacana TA jilid II ini, tentu ini berbeda dengan pola umum selama ini, karena baru 5 tahun lalu pemerintah melaksanakan program tersebut. Pada saat itu juga pemerintah dalam beberapa kampanye menyampaikan kebijakan ini tidak akan dilakukan lagi.
"Jadi memang wacana TA jilid II, ini bertolak belakang dengan semangat TA jilid I ketika itu," jelasnya.
Dia menambahkan, jika argumen pemerintah tax amnesty sekarang membantu adalah proses pemulihan ekonomi, maka sangat tidak tepat. Karena selama ini pemerintah juga bisa memberikan insentif pajak dan sebenarnya ini juga sudah dilakukan.Â
Advertisement
Tarif PPN
Sementara, jika ingin mendorong pemasukan, bisa dilakukan dengan misalnya menaikkan tarif tertinggi dari PPh atau menjalankan program multarif di PPN yang saat ini direncanakan pemerintah. Lagipula, kata dia, belajar dari pengalaman tax amnesty jilid I, belum ada pengaruh signifikan ke penerimaan pajak, terutama dilihat dari tax ratio.
Dari sisi keadilan juga, wacana tax amnesty jilid II tentu berpotensi mereduksi tujuan dari kebijakan itu sendiri. Sebab para wajib pakak bisa saja berpikir, tidak perlu disiplin dalam membayar atau melaporkan pajak, karena nanti ada tax amnesty jilid berikutnya.
"Masalah kepatuhan, betul bahwa setelah program TA jilid I, terjadi peningkatan rasio kepatuhan wajib pajak khususnya non-karyawan, tapi masalah kepatuhan ini masih bisa diusahakan oleh DJP melalui extra effort intensifikasi dari para fiskus," tandasnya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.comÂ